Kamis, 23 Desember 2010

Sejarah Awal Mula Kewajiban Zakat

Kewajiban yang
dikenal sebagai
zakat merupakan salah satu
dari lima rukun Islam. Namun,
permasalahan zakat tidak bisa
dipisahkan dari usaha dan
penghasilan masyarakat.
Demikian juga pada zaman
Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku 125 Masalah
Zakat karya Al-Furqon Hasbi
disebutkan bahwa awal Nabi
Muhammad SAW hijrah ke
Madinah, zakat belum
dijalankan. Pada waktu itu,
Nabi SAW, para sahabatnya,
dan segenap kaum muhajirin
(orang-orang Islam Quraisy
yang hijrah dari Makkah ke
Madinah) masih disibukkan
dengan cara menjalankan
usaha untuk menghidupi diri
dan keluarganya di tempat
baru tersebut. Selain itu, tidak
semua orang mempunyai
perekonomian yang cukup --
kecuali Utsman bin Affan --
karena semua harta benda
dan kekayaan yang mereka
miliki ditinggal di Makkah.
Kalangan anshar (orang-orang
Madinah yang menyambut dan
membantu Nabi dan para
sahabatnya yang hijrah dari
Makkah) memang telah
menyambut dengan bantuan
dan keramah-tamahan yang
luar biasa. Meskipun
demikian, mereka tidak mau
membebani orang lain. Itulah
sebabnya mereka bekerja
keras demi kehidupan yang
baik. Mereka beranggapan
pula bahwa tangan di atas
lebih utama daripada tangan
di bawah.
Keahlian orang-orang
muhajirin adalah berdagang.
Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-
Rabi' menawarkan hartanya
kepada Abdurrahman bin Auf,
tetapi Abdurrahman
menolaknya. Ia hanya minta
ditunjukkan jalan ke pasar. Di
sanalah ia mulai berdagang
mentega dan keju. Dalam
waktu tidak lama, berkat
kecakapannya berdagang, ia
menjadi kaya kembali.
Bahkan, sudah mempunyai
kafilah-kafilah yang pergi dan
pulang membawa
dagangannya.
Selain Abdurrahman, orang-
orang muhajirin lainnya
banyak juga yang melakukan
hal serupa. Kelihaian orang-
orang Makkah dalam
berdagang ini membuat
orang-orang di luar Makkah
berkata, ''Dengan
perdagangan itu, ia dapat
mengubah pasir sahara
menjadi emas.''
Perhatian orang-orang
Makkah pada perdagangan ini
diungkapkan dalam Alqur'an
pada ayat-ayat yang
mengandung kata-kata
tijarah: ''Orang yang tidak
dilalaikan oleh perdagangan
dan jual beli dari mengingat
Allah, melaksanakan shalat,
dan menunaikan zakat.
Mereka takut kepada hari
ketika hati dan penglihatan
menjadi guncang (hari
kiamat). (QS An-Nur:37)
Tidak semua orang muhajirin
mencari nafkah dengan
berdagang. Sebagian dari
mereka ada yang menggarap
tanah milik orang-orang
anshar. Tidak sedikit pula
yang mengalami kesulitan dan
kesukaran dalam hidupnya.
Akan tetapi, mereka tetap
berusaha mencari nafkah
sendiri karena tidak ingin
menjadi beban orang lain.
Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian Rasulullah SAW
menyediakan bagi mereka
yang kesulitan hidupnya
sebuah shuffa (bagian masjid
yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena
itu, mereka disebut Ahlush
Shuffa (penghuni shuffa).
Belanja (gaji) para Ahlush
Shuffa ini berasal dari harta
kaum Muslimin, baik dari
kalangan muhajirin maupun
anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan
perekonomian kaum Muslimin
mulai mapan dan pelaksanaan
tugas-tugas agama dijalankan
secara berkesinambungan,
pelaksanaan zakat sesuai
dengan hukumnya pun mulai
dijalankan. Di Yatsrib
(Madinah) inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya.
Disyariatkan
Ayat-ayat Alqur'an yang
mengingatkan orang mukmin
agar mengeluarkan sebagian
harta kekayaannya untuk
orang-orang miskin
diwahyukan kepada Rasulullah
SAW ketika beliau masih
tinggal di Makkah. Perintah
tersebut pada awalnya masih
sekedar sebagai anjuran,
sebagaimana wahyu Allah
SWT dalam surat Ar-Rum ayat
39: ''Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang
melipatgandakan
(pahalanya)''.
Namun menurut pendapat
mayoritas ulama, zakat mulai
disyariatkan pada tahun ke-2
Hijriah. Di tahun tersebut
zakat fitrah diwajibkan pada
bulan Ramadhan, sedangkan
zakat mal diwajibkan pada
bulan berikutnya, Syawal. Jadi,
mula-mula diwajibkan zakat
fitrah kemudian zakat mal
atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-
Mu'minun ayat 4: ''Dan orang
yang menunaikan zakat''.
Kebanyakan ahli tafsir
berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan zakat dalam
ayat di atas adalah zakat mal
atau kekayaan meskipun ayat
itu turun di Makkah. Padahal,
zakat itu sendiri diwajibkan di
Madinah pada tahun ke-2
Hijriah. Fakta ini menunjukkan
bahwa kewajiban zakat
pertama kali diturunkan saat
Nabi SAW menetap di
Makkah, sedangkan ketentuan
nisabnya mulai ditetapkan
setelah Beliau hijrah ke
Madinah.
Setelah hijrah ke Madinah,
Nabi SAW menerima wahyu
berikut ini, ''Dan dirikanlah
shalat serta tunaikanlah
zakat. Dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan
bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahalanya di sisi
Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa-apa yang
kamu kerjakan'' (QS Al-
Baqarah: 110). Berbeda
dengan ayat sebelumnya,
kewajiban zakat dalam ayat
ini diungkapkan sebagai
sebuah perintah, dan bukan
sekedar anjuran.
Mengenai kewajiban zakat ini
ilmuwan Muslim ternama,
Ibnu Katsir, mengungkapkan,
''Zakat ditetapkan di Madinah
pada abad kedua hijriyah.
Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah
merupakan zakat dengan nilai
dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang
ada sebelum periode ini, yang
dibicarakan di Makkah,
merupakan kewajiban
perseorangan semata''.
Sayid Sabiq menerangkan
bahwa zakat pada permulaan
Islam diwajibkan secara
mutlak. Kewajiban zakat ini
tidak dibatasi harta yang
diwajibkan untuk dizakati dan
ketentuan kadar zakatnya.
Semua itu diserahkan pada
kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin. Akan tetapi,
mulai tahun kedua setelah
hijrah -- menurut keterangan
yang masyhur -- ditetapkan
besar dan jumlah setiap jenis
harta serta dijelaskan secara
teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah,
Rasulullah SAW telah
memberi batasan mengenai
aturan-aturan dasar, bentuk-
bentuk harta yang wajib
dizakati, siapa yang harus
membayar zakat, dan siapa
yang berhak menerima zakat.
Dan, sejak saat itu zakat telah
berkembang dari sebuah
praktik sukarela menjadi
kewajiban sosial keagamaan
yang dilembagakan yang
diharapkan dipenuhi oleh
setiap Muslim yang hartanya
telah mencapai nisab, jumlah
minimum kekayaan yang wajib
dizakati.

Rabu, 08 Desember 2010

Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu

Ketika
berbagai cobaan
dan ujian silih
berganti dialami umat Islam,
Rasulullah SAW
memerintahkan kaum
Muslimin untuk segera
berhijrah ke Yatsrib. Perihal
tempat untuk hijrah ini, Allah
SWT telah memberitahukan
Rasulullah.
Dalam buku berjudul
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
Martin Lings mengungkapkan,
Nabi SAW sudah mengetahui
bahwa Yastrib adalah lahan
subur di antara dua jalur batu-
batu hitam yang beliau lihat
dalam mimpinya. Beliau juga
tahu bahwa tibalah waktunya
untuk hijrah.
Sementara itu, Dr Ahzami
Samiun Jazuli dalam bukunya
mengenai Hijrah dalam
Pandangan Al-Quran
menuliskan, Imam Muslim
mengatakan bahwa Nabi SAW
bersabda, “Aku melihat dalam
tidur bahwa aku berhijrah dari
Makkah menuju suatu tempat
yang banyak terdapat pohon
kurma. Aku mencoba
menebak apakah itu
Yamamah atau Hajar? Namun,
ternyata, itulah Kota
Yatsrib. ” (Shahih Muslim:
2272).
Rasul pun memerintahkan
para sahabatnya untuk segera
berhijrah, baik secara sendiri-
sendiri maupun berkelompok.
Adapun Rasul SAW,
rencananya akan menyusul
setelah semua umat Islam
berhijrah ke Madinah. Sebab,
Rasul mengetahui, yang
dimusuhi oleh kaum kafir
Quraisy adalah diri beliau, dan
bukan kaum Muslimin.
Kaum Quraisy pun
menyiapkan strategi untuk
melakukan penangkapan
terhadap Rasul SAW. Namun,
rencana kaum Quraisy ini
diketahui oleh Nabi SAW. Saat
itu, Rasulullah sendiri
memang masih tinggal di
Makkah dan kaum Muslim
sudah tidak ada lagi yang
tinggal, kecuali sebagian
kecil. Sambil menunggu
perintah Allah SWT untuk
berhijrah, Nabi SAW menemui
Abu Bakar dan
memberitahukannya untuk
bersiap hijrah ke Madinah.
“Dan, katakanlah, Ya
Tuhanku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku
secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang
menolong.”(Al-Isra [17]: 80).
Di sinilah, sebagaimana
dipaparkan Muhammad
Husain Haekal dalam bukunya
Hayatu Muhammad (Sejarah
Hidup Muhammad),
dimulainya kisah yang paling
cemerlang dan indah yang
pernah dikenal manusia dalam
sejarah pengejaran yang
penuh bahaya demi
kebenaran, keyakinan, dan
keimanan.
Untuk mengelabui kaum
Quraisy, Rasulullah
memutuskan akan menempuh
jalan lain (rute yang berbeda)
dari jalur yang biasa
digunakan penduduk Makkah
untuk menuju Madinah.
Rasulullah SAW memutuskan
akan berangkat bukan pada
waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah
menyiapkan dua ekor unta
sebagai kendaraan yang akan
dipergunakan Nabi SAW pada
saat berhijrah. Hijrah ini
dilakukan semata-mata untuk
menyelamatkan dakwah dan
akidah Islam serta kaum
Muslimin.
Rute yang ditempuh Rasul itu
adalah setelah keluar dari
rumah beliau, jalan yang
ditempuh adalah Gua Tsur,
berjarak sekitar 6-7 kilometer
di selatan Makkah. Sedangkan
Madinah berada di sebelah
utara Makkah. Langkah ini
diambil untuk mengelabui
kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini,
Rasulullah dan Abu Bakar
tinggal selama kurang lebih
tiga hari.
Selanjutnya, beliau mengambil
jalur ke arah barat menuju
Hudaibiyah, arah sebelah
timur desa Sarat. Kemudian,
menuju arah Madinah dan
berhenti di sebuah kawasan di
al-Jumum dekat wilayah
Usfan. Lalu, bergerak ke arah
barat dan memutar ke
perkampungan Ummul Ma'bad
dan berhenti di wilayah Al-
Juhfah.
Selanjutnya, beliau menuju
Thanniyat al-Murrah, Mulijah
Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi
Katsir, hingga tiba di Dzu
Salam. Di sini, beliau memutar
ke arah barat sebelum
meneruskan ke arah Madinah
dan berhenti di daerah Quba.
Di sinilah beliau mendirikan
Masjid Quba, yaitu Masjid
pertama yang didirikan Rasul
SAW.
Setelah dari Quba, atau
sekitar satu kilometer dari
Quba, beliau bersama umat
Islam lainnya, melaksanakan
shalat Jumat. Untuk
memperingati peristiwa itu,
dibangunlah masjid di lokasi
ini dengan nama Masjid Jumat.
Setelah itu, barulah Rasul
SAW menuju Madinah.

Berbagai Peristiwa Seputar Hijrah Rasulullah SAW

Dalam
upaya
menyelamatkan
dakwah Islam dari gangguan
kafir Quraisy, Rasulullah SAW
bersegera hijrah dari Makkah
ke Yatsrib (Madinah), dari
Daarul Harbi menuju Daarul
Islam. Saat hijrah
berlangsung, banyak peristiwa
dan kejadian penting yang
patut menjadi teladan umat
Islam. Beberapa peristiwa
penting tersebut sebagai
berikut.
Ali di tempat tidur Nabi SAW
Muhammad Husain Haekal
dalam Sejarah Hidup
Muhammad menuturkan,
pemuda-pemuda yang sudah
disiapkan kaum Quraisy untuk
membunuh Rasulullah pada
malam itu sudah mengepung
rumah Nabi SAW. Pada saat
bersamaan, Rasulullah
menyuruh Ali bin Abi Thalib
untuk memakai mantelnya
yang berwarna hijau dan tidur
di kasur Rasulullah SAW. Nabi
SAW meminta Ali supaya ia
tinggal dulu di Makkah untuk
menyelesaikan berbagai
keperluan dan amanah umat,
sebelum melaksanakan hijrah.
Sementara itu, para pemuda
yang sudah disiapkan Quraisy,
dari sebuah celah, mengintip
ke tempat tidur Nabi SAW.
Mereka melihat ada sesosok
tubuh di tempat tidur itu dan
mereka pun puas bahwa
orang yang mereka incar
belum lari.
Menurut Martin Lings dalam
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
para pemuda Quraisy yang
dipilih untuk membunuh Nabi
SAW itu telah sepakat untuk
bertemu di luar gerbang
rumah Nabi SAW saat malam
tiba.
Menjelang larut malam,
Rasulullah keluar rumah
menuju kediaman Abu Bakar
setelah beliau membacakan
surah yang diberi nama
dengan kalimat pembukanya,
Yasiin. Ketika sampai pada
kalimat, “Dan, Kami adakan di
hadapan mereka dinding dan
di belakang mereka dinding
pula dan Kami tutup (mata)
mereka sehingga mereka
tidak dapat melihat. ” (QS
Yasin [36]: 9).
Lalu, Nabi SAW dan Abu
Bakar keluar melalui jendela
pintu belakang dan terus
bertolak ke arah selatan, ke
arah Yaman, menuju Gua
Tsur. Hal itu dilakukan untuk
mengelabui para pemuda
Quraisy tersebut. Mereka
menutup semua jalur menuju
Madinah. Para pemuda ini
berencana akan menyergap
Nabi SAW saat itu.
Dan, ketika memasuki rumah
Nabi SAW, mereka kaget
karena Rasulullah sudah tidak
ada. Mereka hanya
menemukan Ali sedang tidur
di kasur Rasul SAW. Kafir
Quraisy merasa kecolongan
karena tak menemukan Nabi
Muhammad SAW.
Gua Tsur
Tiada seorang pun yang
mengetahui tempat
persembunyian Nabi SAW dan
Abu Bakar, selain Abdullah
bin Abu Bakar, Aisyah, dan
Asma' serta pembantu
mereka, Amir bin Fuhaira.
Abdullah diperintahkan untuk
mengawasi gerak-gerik
Quraisy pada siang hari dan
memberitahukan keadaan di
sekitar gua pada malam hari.
Amir bin Fuhaira bertugas
menyiapkan kendaraan untuk
Nabi SAW dan Abu Bakar,
sedangkan Asma bertugas
mengantarkan makanan ke
gua.
Sementara itu, pihak Quraisy
terus berusaha mencari
keberadaan Rasulullah tanpa
mengenal lelah. Selain
mencari ke tempat lain,
sebagian di antara mereka
ada yang mendatangi Gua
Tsur. Tidak jauh dari Gua Tsur
itu, mereka bertemu seorang
gembala (menurut sebagian
riwayat, penggembala itu
adalah Amir bin Fuhaira),
yang lalu ditanya. “Mungkin
saja mereka dalam gua itu,
tapi saya tidak melihat ada
orang yang ke sana. ”
Lalu, orang-orang Quraisy
datang menaiki gua itu. Tapi,
kemudian, ada yang turun
lagi. “Mengapa kau tidak
menjenguk ke dalam gua?”
tanya kawan-kawannya. “Ada
sarang laba-laba di tempat itu
yang memang sudah ada
sebelum Muhammad lahir, ”
jawabnya. “Saya melihat ada
dua ekor burung dara hutan di
lubang gua itu. Jadi, saya
mengetahui tak ada orang di
sana, ” seru yang lainnya.
Sementara itu, Abu Bakar
merasa khawatir jika
keberadaan mereka akan
diketahui pihak Quraisy.
Rasulullah mengatakan,
“ Jangan takut, Allah bersama
kita.” (QS Al-Anfal [9]: 40).
Mukjizat gua
Di depan mulut Gua Tsur,
terdapat sarang laba-laba,
sarang burung dara, dan
cabang pohon akasia yang
menjuntai ke arah gua. Pohon
akasia ini digambarkan oleh
Martin Lings memiliki
ketinggian kira-kira setengah
tinggi manusia. Kemudian,
mereka pun pergi
meninggalkan gua.
Masih menurut Lings, di celah
antara pohon dan dinding gua
terdapat seekor laba-laba
yang telah membuat
sarangnya. Kemudian, di
lubang gua-tempat seseorang
mungkin akan melangkah jika
ingin memasuki gua-ada
seekor burung dara telah
bersarang dan sedang duduk
seakan-akan mengerami telur-
telurnya. Sementara itu,
pasangannya yang jantan
sedang menjaga si betina
mengerami telur-telurnya di
dekat pohon yang mengarah
ke gua.
Sarang laba-laba, dua ekor
burung dara, dan pohon
akasia inilah mukjizat yang
diceritakan oleh buku-buku
sejarah hidup Nabi SAW
mengenai masalah
persembunyian dalam Gua
Tsur itu. Melihat kondisi ini,
orang-orang Quraisy ini
berpindah dan mencari Nabi
SAW ke tempat lain.
Sehubungan dengan mukjizat
ini, penulis Prancis Emile
Dermenghem dalam karyanya
yang bertajuk La Vie de
Mahomet mengatakan, “Tiga
peristiwa itu sajalah mukjizat
yang diceritakan oleh sejarah
Islam yang benar-benar:
sarang laba-laba, hinggapnya
burung dara, dan tumbuhnya
pohon-pohonan. Ketiga
keajaiban ini setiap hari
persamaannya selalu ada di
muka bumi. ”
Kisah Suraqah
Adapun peristiwa lainnya yang
juga memberi arti penting
dalam hijrah Rasulullah SAW,
yakni pengejaran yang
dilakukan oleh Suraqah bin
Malik bin Ja'syam. Ia
bermaksud menangkap
Rasulullah SAW dan Abu
Bakar, lalu menyerahkannya
kepada Quraisy karena tergiur
dengan iming-iming yang
diberikan bila dapat
menangkap Rasul SAW.
Namun, belum sempat
mendekati Rasul, kudanya
terperosok dan ia pun
terjungkal. Hal itu berulang-
ulang terjadi hingga akhirnya
ia memohon maaf dan
mengaku terus terang
perbuatannya untuk
menangkap Rasulullah SAW
karena tergoda oleh imbalan
besar yang dijanjikan orang-
orang kafir Quraisy. Rasul
kemudian memaafkannya.

Minggu, 05 Desember 2010

Hijrah

Ketika Rasulullah melakukan
hijrah ke Madinah, masih ada
sejumlah sahabat yang tetap
bertahan di Makkah. Mereka
tak mau meninggalkan
Makkah dengan berbagai
alasan. Namun, selama
bertahan di Makkah,
umumnya mereka merasa
tertindas sehingga diliputi rasa
duka.
Alquran melukiskan mereka
sebagai orang-orang yang
menganiaya diri sendiri.
Ketika mereka wafat dalam
kondisi luka karena teraniaya,
Malaikat pun bertanya,
“Bagaimana keadaan kalian
menjadi seperti ini?'' “Kami
adalah orang-orang yang
tertindas di negeri Makkah,”
jawab mereka. Alquran
kemudian merekam
peringatan Malaikat
berikutnya, “Bukankah bumi
Allah itu luas, maka
berhijrahlah di bumi itu?” (QS
Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut
di atas termasuk kategori ayat
Madaniyah. Pesan Alquran ini
turun kira-kira setelah
tatanan masyarakat Madinah
tertata rapi, tumbuh penuh
harmoni dalam nuansa
multikultural sebagai wujud
perpaduan kebudayaan antara
Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah
seakan-akan tengah
mengamini tindakan
Rasulullah dalam berhijrah,
meskipun sempat beberapa
kali gagal. Hijrah memang
tidak sederhana. Ia tidak
hanya melibatkan tindakan
fisik, tetapi juga
menggambarkan kekuatan
psikologis yang mendasari
ketulusan berikhtiar untuk
mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan
semata-mata untuk
memperoleh kesenangan
duniawi ataupun
kesejahteraan material,
melainkan juga kesempurnaan
pengabdian untuk
mewujudkan tatanan sosial,
politik, ekonomi, dan
kebudayaan yang lebih
mampu menjamin tegaknya
hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah
menjadi solusi manusiawi
sebagai wujud pengakuan atas
segala keterbatasan manusia
dalam memperoleh semua
haknya sekaligus pernyataan
sikap teologis untuk
membuktikan segala
Kemahamurahan Allah bagi
manusia. Bahkan, Allah
sendiri menegur dengan tegas
orang-orang yang
memaksakan kehendaknya
untuk tetap bertahan dalam
ketidakberdayaan,
memaksakan bertahan dalam
ketidaknyamanan ataupun
ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang
tengah diliputi berbagai duka
saat ini, kita tidak bisa tetap
“ menikmati” penderitaan
hanya karena alasan sabar
dan tawakal. Kita juga tidak
bisa terus-menerus
membiarkan ketidakadilan
melilit kehidupan. Saatnya
kita berhijrah untuk
melakukan perubahan
sekaligus mengingatkan siapa
pun yang dipandang menjadi
sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta
semua pihak tulus mengakui
kekhilafan, mencairkan
egoisme politik yang hanya
akan menyengsarakan
kehidupan, dan membangun
komitmen kebangsaan yang
lebih jujur serta demokratis
dengan melepaskan
kepentingan pribadi ataupun
golongan.
Alquran mengingatkan, Allah
membenci orang-orang yang
membiarkan diri bertahan di
tengah kesemrawutan sosial,
politik, dan ekonomi. “Kecuali
mereka, baik laki-laki,
perempuan, maunpun anak-
anak, yang tertindas karena
tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan
untuk berhijrah. ” (QS Annisa
[4]: 98)

Keutamaan Bulan Muharam

Dalam kalender Hijriah
terdapat empat bulan haram,
yakni Dzulqaidah, Dzulhijah,
Muharam, dan Rajab. Disebut
haram karena keempat bulan
itu sangat dihormati, dan
umat Islam dilarang
berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti
diharamkan atau yang sangat
dihormati, memang
merupakan bulan gencatan
senjata atau bulan
perdamaian. Hal ini
menunjukkan bahwa umat
Islam di manapun harus selalu
bersikap damai, tidak boleh
mengobarkan api peperangan
jika tidak diperangi terlebih
dahulu.
Seyogianya, umat Islam
menghormati dan memaknai
Muharam dengan spirit penuh
perdamaian dan kerukunan.
Sebab, Nabi Muhammad SAW
pada khutbah haji wada-yang
juga di bulan haram, mewanti-
wanti umatnya agar tidak
saling bermusuhan, bertindak
kekerasan, atau berperang
satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam
adalah pengendalian diri demi
terciptanya kedamaian dan
ketenteraman hidup, baik
secara fisik, sosial, maupun
spiritual. Karena itu, di bulan
Muharam Nabi Muhammad
SAW menganjurkan umatnya
untuk berpuasa sunah: Asyura
(puasa pada hari kesepuluh di
bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW
bersabda, “Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan
Muharam. Dan, shalat yang
paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat
malam. ” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak
melihat Rasulullah SAW
mengintensifkan puasanya
selain Ramadhan, kecuali
puasa Asyura. ” (HR Bukhari).
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan dari Abi
Qatadah, Nabi SAW bersabda,
“ Puasa Asyura itu dapat
menghapus dosa tahun
sebelumnya. ” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah,
umat Islam dilatih dan
dibiasakan untuk dapat
menahan diri agar tidak
mudah dijajah oleh hawa
nafsu, termasuk nafsu
dendam dan amarah, sehingga
perdamaian dan
ketenteraman hidup dapat
diwujudkan dalam pluralitas
berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan
Muharam agaknya juga harus
menjadi momentum islah bagi
semua pihak. Agar
perdamaian dan
ketentramaan terwujud,
Muharam juga harus dimaknai
sebagai bulan antimaksiat,
yakni dengan menjauhi
larangan-larangan Allah SWT,
seperti fitnah, pornoaksi,
pornografi, judi, korupsi,
teror, dan narkoba.
Muharram juga penting
dijadikan sebagai bulan
keselamatan bersama dengan
menghindarkan diri dari
kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang dapat
menyengsarakan manusia,
baik di darat, laut, maupun di
udara.

Selasa, 16 November 2010

Amalan Utama Zulhijah

"Tidak
ada satu amal
saleh yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi
amal saleh yang dilakukan
pada hari-hari ini, (yaitu 10
hari pertama bulan Zulhijah),"
sabda Nabi SAW.
Para sahabat bertanya,
"Tidak pula jihad di jalan
Allah?" Rasulullah menjawab,
"Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa
dan hartanya, tetapi tak ada
yang kembali satu pun." (HR
Abu Daud, Ibnu Majah, at-
Tirmidzi, dan Ahmad).
"Ketahuilah, amalan di
sepuluh hari awal Zulhijah
akan dilipatgandakan," sabda
Nabi SAW dalam hadis
lainnya. Terlepas perbedaaan
pelaksanaaan Idul Adha 1431
H, ada baiknya kita alihkan
perhatian pada sesuatu yang
lebih utama, yaitu merebut
perhatian Allah SWT dengan
menghadirkan amalan-amalan
yang disukai-Nya.
Pertama, puasa. Dari istri
Hunaidah bin Kholid, beberapa
istri Nabi SAW mengatakan,
"Rasulullah biasa berpuasa
pada sembilan hari awal
Zulhijah, pada hari Asyura (10
Muharram), dan berpuasa tiga
hari setiap bulannya." Di
antara sahabat yang
mempraktikkan puasa selama
sembilan hari awal Zulhijah
adalah Ibnu Umar.
Kedua, memperbanyak takbir
dan zikir. Termasuk di
dalamnya membaca tasbih,
tahmid, tahlil, takbir, istigfar,
dan doa. Disunahkan untuk
mengeraskan suara ketika
melewati pasar, jalan-jalan,
masjid, dan tempat-tempat
lainnya.
Ibnu Abbas berkata,
"Berzikirlah kalian kepada
Allah pada hari-hari yang
ditentukan, yaitu 10 hari
pertama Zulhijah dan juga
pada hari-hari tasyrik." Ibnu
Umar dan Abu Hurairah
pernah ke pasar pada sepuluh
hari pertama Zulhijah, mereka
bertakbir, lantas manusia pun
ikut bertakbir.
Ketiga, menunaikan ibadah
haji dan umrah. Nabi SAW
ditanya, "Amalan apa yang
paling afdal?" Beliau
menjawab, "Beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya." Ada
yang bertanya lagi,
"Kemudian apa lagi?" Beliau
menjawab, "Jihad di jalan
Allah." Ada yang bertanya
kembali, "Kemudian apa
lagi?" Nabi SAW menjawab,
"Haji mabrur!" (HR Bukhari).
Keempat, memperbanyak
amalan saleh, seperti shalat
sunah, sedekah, membaca
Alquran, dan ber-amar
makruf nahi mungkar. Kelima,
berkurban. Pada hari nahr (10
Zulhijah) dan hari tasyrik
disunahkan untuk berkurban.
"Maka, dirikanlah shalat
karena Tuhanmu dan
berkurbanlah." (QS al-Kautsar
[108]: 2).
Keenam, bertobat. Jika kita
pernah berzina, membunuh
tanpa hak, mencandu
minuman (khamr), atau sering
meninggalkan shalat lima
waktu, segeralah bertobat.
"Katakanlah, 'Hai, hamba-
hamba-Ku yang malampaui
batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya
Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang'." (QS
az-Zumar [39]: 53).
Menurut Ibnu Katsir, ayat
yang mulia ini berisi seruan
kepada setiap orang yang
berbuat maksiat, baik
kekafiran maupun lainnya,
untuk segera bertobat kepada
Allah. Sang Khalik pun akan
mengampuni seluruh dosa
setiap hamba yang bertobat
walaupun dosanya sangat
banyak. Wallahu a'lam.

Kendaraan Pembawa Amal Kebaikan

Rasulullah bersabda, "Kuda
itu ada tiga macam: menjadi
dosa bagi seseorang, menjadi
tameng bagi seseorang, dan
menjadi ganjaran bagi
seseorang. Pertama, adapun
kuda yang menjadi dosa bagi
seseorang adalah kuda yang
diikat dengan maksud pamer,
bermegah-megahan, dan
memusuhi penduduk Islam.
Kuda itu bagi pemiliknya
merupakan dosa."
"Kedua, adapun yang menjadi
tameng bagi seseorang adalah
kuda yang diikat pemiliknya
untuk berjuang di jalan Allah,
kemudian pemilik itu tidak
melupakan hak Allah yang
terdapat pada punggung dan
leher kuda. Kuda itu menjadi
tameng bagi pemiliknya
(penghalang dari api
neraka)."
"Ketiga, kuda yang menjadi
ganjaran bagi pemiliknya
adalah kuda yang diikat untuk
berjuang di jalan Allah dan
untuk penduduk Islam pada
tanah yang subur dan taman.
Maka, sesuatu yang dimakan
oleh kuda itu pada tanah
subur atau taman pasti dicatat
untuk pemiliknya sebagai
kebaikan sejumlah yang telah
dimakan oleh kuda, dan
dicatat pula kebaikan untuk
pemiliknya sejumlah kotoran
dan air kencingnya."
Hadis yang tercantum dalam
kitab Sahih Muslim (nomor
1647) itu menjelaskan bahwa
kendaraan yang dimiliki akan
menjadi dosa manakala dibeli
dan digunakan dengan tujuan
untuk pamer kekayaan dan
digunakan untuk maksiat.
Terlebih, uang untuk
membelinya hasil korupsi.
Pemilik kendaraan hendaknya
menyadari bahwa kendaraan
yang dimilikinya pada
hakikatnya milik Allah. Wajib
baginya untuk merawat dan
membayar zakatnya.
Sehingga, kendaraan yang
digunakannya itu nyaman
digunakan untuk bekerja dan
bersilaturahim. Dan, di akhirat
kelak menjadi tameng bagi
pemiliknya dari api neraka.
Selain itu, pemilik kendaraan
pun bisa memberikan
tumpangan kepada orang lain,
seperti saudara, tetangga, dan
teman sekantor. Sehingga,
kendaraan itu tak dibiarkan
melaju dengan kosong.
Kendaraan yang digunakan di
jalan Allah, baik bahan bakar
minyak, polusi, suara mesin,
maupun kecepatan yang
dikeluarkannya, akan berbuah
pahala bagi pemiliknya. Mari
mengatasi macet dengan
berbagi dan peduli. Wallahu
a'lam.

Rabu, 10 November 2010

Ingatlah Saat Kematian Mu

Di
dunia ini, menurut al-Ghazali,
tak ada yang pasti, kecuali
kematian. Hanya kematian
yang pasti, lainnya tak ada
yang pasti. Namun, manusia
tak pernah siap menghadapi
maut dan cenderung lari
darinya. "Sesungguhnya,
kematian yang kamu lari
daripadanya, sesungguhnya
kematian itu akan menemui
kamu." (QS Al-Jumu'ah [62]:
8).
Bagi al-Ghazali, kematian
tidak bermakna tiadanya
hidup (nafi al-hayah), tetapi
perubahan keadaan
(taghayyur hal). Dengan
kematian, hidup bukan tidak
ada, melainkan
bertransformasi dalam
bentuknya yang lebih
sempurna. Diakui, banyak
orang semasa hidup mereka
tertidur (tak memiliki
kesadaran), tetapi justru
setelah kematian, meraka
bangun (hidup). "Al-Nas
niyam, fa idza matu intabihu,"
demikian kata Imam Ali.
Dalam Alquran, ada beberapa
istilah yang dipergunakan
Allah SWT untuk mengartikan
kematian. Pertama, kata al-
maut (kematian) itu sendiri.
Kata ini dalam bentuk kata
benda diulang sebanyak 35
kali. Al-maut menunjuk pada
terlepasnya (berpisah) ruh
dari jasad manusia. Kepergian
ruh membuat badan tak
berdaya dan kemudian
hancur-lebur menjadi tanah.
Allah SWT berfirman,
"Darinya (tanah) itulah Kami
menciptakan kamu dan
kepadanyalah Kami akan
mengembalikan kamu, dan
dari sanalah Kami akan
mengeluarkan kamu pada
waktu yang lain." (QS Thaha
[20]: 55).
Kedua, kata al-wafah (wafat).
Kata ini dalam bentuk fi`il
diulang sebanyak 19 kali. Al-
Wafah memiliki beberapa
makna, antara lain sempurna
atau membayar secara tunai.
Jadi, orang mati dinamakan
wafat karena ia sesungguhnya
sudah sempurna dalam
menjalani hidup di dunia ini.
Oleh sebab itu, kita tak perlu
berkata, sekiranya tak ada
bencana alam si fulan tidak
akan mati.
Ketiga, kata al-ajal. Kata ini
dalam Alquran diulang
sebanyak 21 kali. Kata ajal
sering disamakan secara salah
kaprah dengan umur.
Sesungguhnya, ajal berbeda
dengan umur. Umur adalah
usia yang kita lalui, sedangkan
ajal adalah batas akhir dari
usia (perjalanan hidup
manusia) di dunia. Usia
bertambah setiap hari; ajal
tidak. (QS Al-A'raf [7]: 34).
Keempat, kata al-ruju' (raji').
Kata ini dalam bentuk subjek
diulang sebanyak empat kali,
dan mengandung makna
kembali atau pulang.
Kematian berarti perjalanan
pulang atau kembali kepada
asal, yaitu Allah SWT. Karena
itu, kalau ada berita
kematian, kita baiknya
membaca istirja', Inna Lillah
wa Inna Ilaihi Raji'un (QS Al-
Baqarah [2]: 156).
Sesungguhnya, kematian itu
sama dengan mudik, yaitu
perjalanan pulang ke
kampung kita yang
sebenarnya, yaitu negeri
akhirat. Mudik itu
menyenangkan. Dengan satu
syarat, yakni membawa bekal
yang cukup, berupa iman dan
amal saleh. "Barang siapa
mengharap perjumpaan
dengan Tuhannya (dalam
perkenan dan rida-Nya),
hendaklah ia mengerjakan
amal saleh." (QS Al-Kahfi [18]:
110). Wallahu a'lam.

Kamis, 04 November 2010

Mengenal Masjid Tempat Rasulullah Memimpin Pasukan Khandaq

Sebelum
peperangan
melawan kaum kafir Quraisy
di daerah Khandaq ini, umat
Islam sangat khawatir
menghadapi mereka.
Pasalnya, jumlah pasukan
Quraisy dan sekutunya
mencapai sekitar 10 ribu
orang. Sementara itu, dari
kalangan umat Islam, hanya
sebanyak empat ribu orang.
Sebuah peperangan yang tidak
seimbang. Hal ini merupakan
ujian yang sangat berat bagi
kaum Muslimin.
Dalam Alquran, Allah SWT
menjelaskan, beratnya kondisi
yang dihadapi umat Islam.
"Hai orang-orang yang
beriman, ingatlah akan nikmat
Allah (yang telah
dikaruniakan) padamu ketika
datang kepada tentara-
tentara kepadamu. Lalu Kami
kirimkan kepada mereka
angin topan dan tentara yang
tidak dapat kamu melihatnya.
Dan Allah Maha Melihat akan
apa yang kami kerjakan.
(Yaitu) ketika mereka datang
kepadamu dari atas dan
bawah. Dan ketika tidak tetap
lagi penglihatan (mu) dan
hatimu naik menyesak sampai
tenggorokan dan kamu
menyangka terhadap Allah
dengan bermacammacam
prasangka. Disitulah diuji
orang-orang mukmin dan
digoncangkan (hatinya)
dengan goncangan yang
sangat (berat)." (QS Al-Ahzab
[33]: 9-11).
Bahkan, saat penggalian parit,
Rasul SAW turun tangan untuk
membantu kaum Muslimin.
Tak hanya pekerjaan untuk
menyelesaikan galian parit
yang mencapai lebih dari lima
kilometer itu, tetapi juga
karena minimnya bekal
makanan.
Abu Thalhah meriwayatkan,
saat penggalian itu, kaum
Muslimin terpaksa mengganjal
perut mereka dengan
beberapa buah batu. "Ketika
kami mengeluh kelaparan
kepada Rasulullah, kami
berjalan sambil mengganjal
perut dengan beberapa buah
batu. Dan kami menyaksikan
Rasulullah juga mengganjal
perutnya dengan dua buah
batu."
Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah, ia berkata; "Ketika
kami sedang menggali parit
pada Perang Khandaq, kami
menemukan tanah yang
keras, maka mereka
mengadukan kepada Rasul,
kemudian Rasul menjawab;
"Biarlah aku sendiri yang
mencangkulnya." Kemudian
Rasul mencangkulnya, dan
akhirnya tanah yang keras itu
berubah menjadi lunak
bagaikan onggokan
pasir." (HR Bukhari).
Ungkapan serupa juga
diriwayatkan Imam Baihaqi
dari Al-Barra bin Azib Al-
Anshariy RA. "Pada saat kaum
Muslimin menggali parit,
mereka melihat sebuah batu
besar yang tidak dapat
dipecahkan dengan cangkul
atau beliung mereka. Mereka
memberitahukan hal itu
kepada Rasulullah SAW.
Dengan tiga kali ayunan
beliung Rasul, batu besar itu
hancur berkeping-keping."
Maka, ketika penggalian parit
selesai, beberapa hari
kemudian, datanglah pasukan
kafir Quraisy. Menyaksikan
jumlahnya yang demikian
besar, Rasul SAW berdoa agar
Allah membantu perjuangan
kaum Muslimin. Doa beliau itu
dipanjatkan saat berada di
Masjid Fatah. Beliau berdoa
selama tiga hari berturut-
turut. Dan akhirnya,
peperangan ini berhasil
dimenangkan kaum Muslimin
atas bantuan Allah yang
mengirimkan tentara Malaikat
yang tak terlihat.
Dinamakan dengan Masjid
Fatah disebabkan umat Islam
memperoleh kemenangan. Al-
Fatah berarti kemenangan.
Masjid ini berada di atas bukit
Sila (Sal'a). Bukit ini disebut
juga dengan nama Jabal as-
Sila'.(republika.co.id)

Rabu, 03 November 2010

Akhirat 1 Menit 49 Detik

Lebih dari empat miliar tahun
planet bumi diciptakan
beserta sumber dayanya, tak
lain adalah untuk
memfasilitasi hidup manusia.
Pada hakikatnya, manusia
adalah makhluk nomaden
yang berasal dari alam azali,
berpindah ke alam rahim, lalu
lahir ke alam dunia.
Selanjutnya, diantarkan ke
alam barzakh dengan tempat
pemberhentian di alam
akhirat.
Sesungguhnya, batas waktu
(time limit) khalifah di bumi
ini sangat singkat. Ia laksana
seorang pengembara yang
mampir untuk sekadar minum.
Begitulah Rasullullah SAW
menggambarkan kehidupan
manusia di dunia.
Setiap bayi yang lahir di alam
fana ini tidak punya pilihan
untuk hidup, kecuali dengan
dua buah kitab, yakni kitab
catatan perbuatan baik (sijjin)
dan perbuatan buruk (illiyin).
Itulah yang akan
menyertainya sampai akhirat
nanti. Ditambah lagi, dengan
amanah Allah yang khusus
diberikan kepada manusia,
yakni shalat.
Suatu ketika sahabat melihat
Ali bin Abi Thalib RA ketika
berwudhu. Kulitnya tampak
berwarna kuning, dan
badannya gemetar ketika
shalat. Sahabat lain yang
menyaksikannya kemudian
bertanya kepada menantu
Rasullullah itu. "Wahai Ali,
mengapa engkau kelihatan
seperti tidak sehat ketika
berwudhu dan shalat?" Ali
menjawab; "Bagaimana aku
tidak gemetar, jika gunung,
pohon, dan makhluk lainnya
saja, tidak sanggup
memegang amanah Allah ini."
Hidup di dunia sangatlah
singkat, tak sebanding dengan
kehidupan di akhirat. "Para
malaikat dan Jibril naik
menghadap Allah, dalam
sehari setara dengan 50 ribu
tahun." (QS Al-Maarij [70]: 4).
Berarti, waktu sehari di
akhirat sama dengan 50 ribu
tahun di dunia. Bila
dikonversikan dengan umur
manusia berdasarkan usia
Rasullullah SAW (63 tahun),
maka kehidupan manusia
setara dengan 1 menit 49
detik di akhirat. Suatu waktu
yang sangat singkat. Oleh
karena itu, berhitunglah!
Wallahu a'lam.

Jumat, 29 Oktober 2010

BUKAN MINAL AIDIN WAL FAIZIN

Sebelum membahas Kata
Minal Aidzin wal faidzin, mari
kita perhatikan dalil dalil yg
membahasa tentang Ucapan
Ini:
“ Ucapan pada hari raya, di
mana sebagian orang
mengatakan kepada yang lain
jika bertemu setelah shalat
Ied : Taqabbalallahu minnaa
wa minkum “Artinya : Semoga
Allah menerima dari kami dan
dari kalian ”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[Majmu Al-Fatawa 24/253]
Dalam 'Al Mahamiliyat'
dengan isnad yang hasan dari
Jubair bin Nufair, ia berkata :
“ Para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bila bertemu pada hari raya,
maka berkata sebagian
mereka kepada yang lainnya :
Taqabbalallahu minnaa wa
minka (Semoga Allah
menerima dari kami dan
darimu)”.
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari [2/446]
Muhammad bin Ziyad berkata:
“ Aku pernah bersama Abu
Umamah Al Bahili dan
selainnya dari kalangan
sahabat Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam. Mereka bila
kembali dari shalat Ied
berkata sebagiannya kepada
sebagian yang lain :
'Taqabbalallahu minnaa wa
minka ”
(Ibnu Qudamah dalam “Al-
Mughni” (2/259)
IMAM AHMAD menyatakan
bahwa ini adalah “Isnad hadits
Abu Umamah yang Jayyid/
Bagus. Beliau menambahkan :
“ Aku tidak pernah memulai
mengucapkan selamat kepada
seorangpun, namun bila ada
orang yang mendahuluiku
mengucapkannya maka aku
menjawabnya. Yang demikian
itu karena menjawab ucapan
selamat bukanlah sunnah
yang diperintahkan dan tidak
pula dilarang. Barangsiapa
mengerjakannya maka
baginya ada contoh dan siapa
yang meninggalkannya
baginya juga ada contoh,
wallahu a ’lam.”
[Al Jauharun Naqi 3/320.
Suyuthi dalam 'Al-Hawi:
(1/81) : Isnadnya hasan]
Nah, Sahabat. lalu kenapa
Minal Aidzin Walfaidzin?
Dikalangan masyarakat dan
media Televisi berjuta juta
muslim di indonesia sering
mendengar kata ini
digandengkan dengan kata
'Mohon maaf lahir batin'
sehingga kurang lebih Begini:
“MINALAIDIN WAL FAIDZIN -
MOHON MAAF LAHIR DAN
BATIN ”,
Seakan akan (mungkin yang
mengucapkan) menganggap
bahwa Minal Aidzin Wal
Faidzin Ini berarti Mohon Maaf
Lahir dan Batin..Benarkah
begitu? Coba perhatikan dan
analisa sendiri jika dua frase
itu diartikan secara
menyeluruh dalam bahasa
indonesia yg benar:
“ TERMASUK DARI ORANG
ORANG YANG KEMBALI
SEBAGAI ORANG YANG
MENANG - Mohon maaf lahir
dan Batin ”.
Sepertinya rada ngawur, do'a
bukan.. salam juga bukan :)
Coba lihat penerjemahan
makna frase Minal Aidzin Wal
Faidzin dalam bahasa Arab
berikut:
Min, artiinya “termasuk”.
Al-aidin, artinya”orang-orang
yang kembali”
Wa, artinya “dan”
Al-faidzin, artinya “ menang”.
Jadi makna "Minal Aidzin Wal
Faidzin" jika dipaksakan
diartikan dalam kai'dah
tatabahasa Arab - Indonesia
yg benar adalah “Termasuk
dari orang-orang yang
kembali (dari perjuangan
ramadhan) sebagai orang
yang menang ”.
=========
S O L U S I
=========
Nah lalu apa Solusi dari
kurangnya pemahaman
bahasa diatas ?
Tentunya selain agar kita
tidak ditertawain negeri
tetangga, dan tidak malu
maluin saat kita bertemu
dengan orang orang berilmu,
kita juga harus mengikuti Apa
yg Rasul / Sahabat contohkan
agar hal tersebut terhindar
dari hal hal Bid'ah.
Nah lho? Kok bid'ah?
Jangan tersinggung dulu,
untuk sahabat muslim yang
alergi dengan kata BIDAH.
mari perhatikan; dalam
budaya Arab, ucapan yang
disampaikan ketika
menyambut hari Idul Fitri
(yang mengikuti teladan nabi
Muhammad Saw) adalah
"Taqabbalallahu minna
waminkum", Kemudian
menurut riwayat ucapan nabi
ini ditambahkan oleh orang-
orang dekat jaman Nabi
dengan kata-kata"Shiyamana
wa Shiyamakum", yang
artinya puasaku dan puasamu,
sehingga kalimat lengkapnya
menjadi
"Taqabbalallahuminna wa
minkum, Shiyamana wa
Shiyamakum" (Semoga Alloh
menerima amalan puasa saya
dan Kamu).
Dari Riwayat tersebut Dan
seperti keterangan
keterangan yg dipaparkan
yang benar adalah dari
“ Taqabbalallahu… sampai …
shiyamakum”. tidak satupun
menyatakan ada istilah Minal
Aizin wal Faidzin. Atau Tanpa
minal Aidin wal faidzin.
Jadi mengucapkan Minalaidin
walfaidzin, JIKA KITA
mengucapkannya dengan niat
ingin mencontoh kebiasaan
Rosulullah/Ittiba ’qauly,
jatuhnya bisa menjadi Bid’ah,
TAPI KALAU niatnya hanya
untuk “Ingin mendoakan
sesama Saudara seiman”,
Insya Allah, tidak salah DAN
Bahkan hal yang baik.
Adapun jika ingin
menambahkan bisa saja
ditambahkan diakhir kalimat,
agar secara harfiyah aja
serasi:
”Taqabbalallahu minna wa
minkum, shiyamana wa
shiyamakum minal aidin wal
faidzin ”
Artinya, “Semoga Allah
menerima amal-amal kami
dan kamu, Dan semoga Ia
menjadikan kami dan kamu
termasuk dari orang-orang
yang kembali (dari perjuangan
Ramadhan) sebagai orang
yang menang.”
Sekedar tambahan,
bagaimana jika kita ingin
mengucapkan “mohon maaf
lahir dan batin” dalam bahasa
arab benar?
Salah satunya adalah
“ Asalukal afwan zahiran wa
bathinan”. Atau “wa al afwu
minkum”. “ dan, sekali lagi
Bukan Minal aidin wal faidzin”
Demikian, Akhir kata.
Dengan Ini saya pribadi
beserta keluarga,
Atas Nama Pena Grub
"Berproses bukan berarti
Diam" ingin mengucapkan,
”Taqabbalallahu minna wa
minkum, shiyamana wa
shiyamakum minal aidin wal
faidzin ”
“Semoga Allah menerima
amal-amal kita, Dan semoga
Allah menjadikan kita
termasuk dari orang-orang
yang kembali dari perjuangan
Ramadhan sebagai orang yang
menang. ”
semoga Cahaya Ramadhan
tahun ini bisa menerangi 11
bulan kedepan menjadikan
kita termasuk kedalam
golongan orang-orang yang
bertaqwa, Mampu Berproses
lebih baik lagi dan semoga
dipertemukan dengan Bulan
Ramadhan tahun depan.
Aamiin
wa'allahu'alam..

Kamis, 21 Oktober 2010

Di Wadi Ranuna, Rasulullah Pertama Kali Sholat Jumat

Madinah adalah
satu dari tiga kota
suci. Yang lainnya adalah
Makkah dan Palestina.
Kesucian Kota Madinah
ditegaskan oleh Rasulullah
SAW dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
"Sesungguhnya Ibrahim telah
menjadikan Kota Makkah
sebagai tempat suci dan
berdoa untuk kebaikan
penduduknya. Dan,
sesungguhnya aku menjadikan
Madinah sebagai kota suci
sebagaimana Ibrahim
menjadikan Makkah sebagai
tempat suci. Sesungguhnya
aku berdoa untuk kebaikan
sha'-nya dan mud-nya
sebagaimana yang didoakan
Ibrahim untuk kebaikan
penduduk Makkah." (HR
Muslim).
Sebelum kota ini bernama
Madinah, dahulunya dikenal
dengan nama Yatsrib. Namun,
setelah Rasul SAW hijrah ke
Madinah pada awal tahun
Hijriyah, tepatnya tahun 622
Masehi, namanya berubah
menjadi Madinah al-
Munawwarah, yakni kota yang
bercahaya. Sedikitnya, ada 95
julukan yang diberikan kepada
kota ini. Di antaranya,
Madinah ar-Rasul, Darul
Abrar, Ardhullah, Thabah,
Thayyibah, Sayyidul Buldan,
Darussalam, al-Mubarakah,
al-Qashimah, al-Fadhilah, al-
Mahrumah, Haramu
Rasulillah, dan Qalbul Iman.
Sejak dahulu, Kota Madinah
telah menjadi kota penting
ketiga setelah Makkah dan
Thaif. Philip K Hitti dalam The
History of The Arabs
manyatakan bahwa kota ini
berperan penting sebagai
pusat pemerintahan Islam.
Karena itu, di Madinah
terdapat berbagai pusat
pengembangan agama Islam,
terutama masjid. Di Madinah,
selain Masjid Nabawi, masjid
lainnya yang juga memiliki
sejarah penting dalam
penyebaran agama Islam
adalah Masjid Quba (masjid
yang pertama kali dibangun
oleh Rasul SAW) dan Masjid
Qiblatain (dua kiblat).
Namun, ada satu masjid
penting lainnya yang kerap
terlupakan. Padahal, masjid
ini memiliki sejarah yang
sangat penting dalam
penegakan syiar Islam. Itulah
Masjid Jumat. Ya, masjid ini
disebut dengan nama
demikian karena disinilah
Rasul SAW pertama kali
melaksanakan shalat Jumat
saat memasuki Kota Madinah.
Sebagaimana diketahui, ketika
Rasul SAW memutuskan untuk
berhijrah dari Makkah ke
Madinah, beliau sempat
membangun masjid. Dan,
masjid pertama yang dibangun
itu adalah Masjid Quba, yang
terletak di kampung Quba,
berjarak sekitar empat
kilometer di sebelah selatan
Masjid Nabawi.
Keutamaan Masjid Quba
diterangkan dalam Alquran.
"Sesungguhnya masjid yang
didirikan atas dasar takwa
(Masjid Quba), sejak hari
pertama, adalah lebih patut
kamu shalat di
dalamnya." (QS At-Taubah [9]:
108).
Setelah mendirikan masjid ini,
Rasul bersama dengan Abu
Bakar as-Siddiq melanjutkan
perjalanan menuju Yatsrib,
yakni Madinah sekarang.
Namun, sebelum sampai di
tempat tujuan, yakni Masjid
Nabawi, beliau singgah di
kampung Bani Sulaim. Pada
saat itu ialah hari Jumat, dan
waktunya sudah menjelang
shalat Zhuhur. Karena itu,
bersama para sahabat dan
kaum muslimin yang ada pada
saat itu, Rasul SAW mengajak
mereka untuk mendirikan
shalat Jumat.
Shalat Jumat itu dilaksanakan
Rasul SAW di sebuah Wadi
(lembah) yang terletak di
kampung Bani Sulaim.
Letaknya berdekatan dengan
Masjid Quba. Menurut Junaidi
Halim dalam bukunya
Makkah-Madinah dan
Sekitarnya, nama lembah
tersebut adalah Wadi Ranuna.
Sebagai peringatan atas
pelaksanaan shalat Jumat itu
didirikanlah sebuah masjid di
lokasi tersebut. Dan, masjid
itu diberinama Masjid Jumat.
Menurut Hanafi al-Mahlawi
dalam Al-Amakin al-
Masyhurah fi Hayati
Muhammad SAW, shalat Jumat
yang dilaksanakan di lokasi
tersebut merupakan shalat
jumat yang pertama kali.
Sebab, sebelumnya beliau
kesulitan melaksanakan
shalat Jumat karena kuatnya
tekanan dan penindasan yang
dilakukan kafir Quraisy
terhadap kaum Muslim.
Ada yang mengatakan bahwa
lokasi pelaksanaan shalat
Jumat itu terletak disisi kanan
jalan dari Quba menuju
Madinah. Adapun jumlah
kaum Muslim yang mendirikan
shalat Jumat ketika itu
mencapai seratus orang.
Menurut HM Iwan Gayo dalam
Buku Pintar Haji dan Umrah,
masjid Jumat itu berukuran 7X
5,5 meter persegi.
Karena itulah, keberadaan
Masjid Jumat ini memiliki
posisi yang sangat penting
dalam sejarah Islam.
Sayangnya, tidak diketahui
secara pasti, siapa sahabat
yang mendirikan masjid ini.
Mungkin itu karena minimnya
informasi yang didapatkan.
Karenanya, tak banyak umat
Muslim yang berziarah atau
berkunjung ke masjid ini.

Air Zamzam, Sumur yang tak Pernah Kering

Air
zamzam yang
berlimpah
merupakan mukjizat yang
tidak bisa diingkari. Sejak
masa Nabi Ibrahim AS hingga
kini, mata air tersebut tidak
pernah kering. Bagaimana
sejarah air yang penuh
keberkahan ini?
Imam Bukhori meriwayatkan:
"Nabi Ibrahim a'laihisalam
membawa istri dan putranya
Ismail yang masih menyusui ke
Makkah kemudian singgah di
bawah sebuah pohon tempat
sumur zamzam sekarang ini.
Kala itu tidak seorang pun
yang tinggal di Makkah, tidak
pula terdapat mata air.
Sebagai bekal, Nabi Ibrahim
meninggalkan wadah
berisikan kurma dan satu lagi
berisikan air. Nabi Ibrahim
beranjak pergi meninggalkan
istri dan putranya di tempat
itu. Istrinya kemudian
mengikuti seraya berkata:
"Wahai Ibrahim ke mana
engkau pergi? Apakah engkau
akan meninggalkan kami di
tempat yang tidak
berpenghuni ini dan tak ada
sesuatu pun?"
Berulang-ulang Siti Hajar
memanggil Nabi Ibrahim
dengan kata-kata tersebut.
Nabi Ibrahim tidak menoleh.
Istrinya lalu bertanya:
"Apakah Allah yang
memerintahkanmu melakukan
hal ini?" "Ya," jawab Nabi
Ibrahim. Mendengar jawaban
itu, Siti Hajar berkata, "Kalau
begitu Allah tidak akan
menyia-nyiakan kami." Ia
kemudian kembali bersama
putranya Ismail.
Nabi Ibrahim terus berjalan.
Sampai di tempat yang
bernama Tsaniah, ia
menghadap ke arah Ka'bah
(sekarang ini, dulu belum
dibangun) kemudian berdoa
seraya menengadahkan kedua
tangannya dan memanjatkan
doa.
"Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanam-
tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami
(yang demikian itu) agar
mereka mendirikan
shalat." (QS: Ibrahim 37).
Siti Hajar menyusui Nabi Ismail
dan minum air yang
ditinggalkan Nabi Ibrahim. Air
itu habis, ia dan putranya
merasa sangat haus dan
dahaga. Nabi Ismail terus
menangis. Tidak tega melihat
putranya seperti itu, Siti Hajar
pergi ke bukit Sofa.
Di bukit itu ia berdiri
menghadap lembah, berharap
melihat orang di sana. Ia
kemudian turun dari bukit
Sofa. Sampai di lembah, ia
mengangkat ujung bajunya,
kemudian berlari-lari seperti
orang yang kelelahan
sehingga sampai di bukit
Marwa. Ia lalu melihat ke
arah sekelilingnya, tapi tak
seorang pun terlihat. Hal itu ia
lakukan sampai 7 kali.
Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah SAW bersabda:
"Itulah (asal mula) sa'i yang
dilakukan sekarang antara
Sofa dan Marwa. Ketika Siti
Hajar kembali ke bukit
Marwa, terdengarlah suara
tanpa rupa, Siti Hajar
berkata : "Berikanlah
pertolongan kepadaku jika
Engkau mempunyai kebaikan."
Tiba-tiba, ia melihat Malaikat
Jibril berada di tempat sumur
zamzam (sekarang ini). Dalam
Hadis Sayyidina Ali ra yang
diriwayatkan Imam Tobari
dengan Sanad Hasan:
"Malaikat Jibril
memanggilnya, siapakah
engkau?" Ia menjawab, "Aku
adalah Hajar ibu Ismail."
"Kepada siapa engkau berdua
dipasrahkan?" "Kepada
Allah." Malaikat Jibril
kemudian berkata: "Engkau
berdua telah dipasrahkan
pada Yang Maha Mencukupi."
Malaikat Jibril lalu mencari-
mencari (menggali) dengan
tumitnya dalam riwayat
dengan sayapnya sehingga
tampaklah air. Dalam riwayat
Bukhori disebutkan,
terpancarlah air. Siti Hajar
tercengang melihat pancaran
air itu, lalu membuatnya
seperti telaga.
Malaikat Jibril berkata:
"Biarkanlah sesungguhnya air
itu rowaaun (banyak dan
mengenyangkan). Siti Hajar
kemudian minum dari air itu,
susunya menjadi mengalir
banyak. Malaikat Jibril
berkata kepadanya: "Jangan
takut akan terlantar,
sesungguhnya di sinilah rumah
Allah akan dibangun oleh
anak ini dan ayahnya,
sesungguhnya Allah tidak
akan menyia-nyiakan hamba
yang dekat dengan-Nya."
Sekelompok orang-orang
Jurhum dari Bani Qohton
kemudian lewat. Mereka
datang melewati jalan
Kada' (nama tempat) lalu
singgah di lembah Makkah
bagian bawah. Mereka
melihat burung-burung
terbang berputar-putar tidak
meninggalkan tempat itu.
Mereka berkata: "Sungguh
burung-burung itu berputar-
putar di atas air, padahal kita
tahu di lembah ini sebelumnya
tidak terdapat air." Mereka
lalu mengutus seorang
melihat ke tempat tersebut.
Benar, di sana terdapat air.
Mereka lalu datang ke tempat
air itu dan melihat Siti Hajar
berada di situ. Mereka
berkata: "Apakah engkau
mengizinkan kami tinggal di
tempat ini?"
Siti Hajar menjawab: "Ya,
tetapi kalian tidak berhak atas
mata air ini (kecuali untuk
kalian minum dan kebutuhan
kalian saja). "Baiklah."
Lembah Makkah yang asalnya
tidak terdapat air tidak
berpenghuni sehingga Allah
menampakkan air zamzam.
Setelah itu, kabilah Jurhum
yang berasal dari Yaman ikut
tinggal di lembah tersebut
sehingga semakin lama
semakin bertambah ramai.
Dari segi keutamaannya,
sebagian ulama telah
mengumpulkan berbagai
fadilah dan keutamaan
zamzam. Antara lain adalah
air surga (maa'ul-jannah).
Artinya, air yang penuh
berkah dan manfaat, seperti
air surga.
Nikmat Allah, yakni salah satu
nikmat Allah bagi para
jamaah haji yang langsung
bisa merasakan nikmatnya air
di tengah-tengah padang
pasir. Penuh berkah karena
Rasulullah SAW senang
meminumnya dan tangannya
yang penuh berkah pernah
dicelupkan ke sumur zamzam.
Air ini juga mengenyangkan
serta menghilangkan dahaga.
Dapat juga digunakan sebagai
air penyembuh penyakit, baik
penyakit jiwa atau batin
maupun penyakit jasmani.
Rasulullah SAW menyebutnya,
"mengobati penyakit." Banyak
kisah dan riwayat tentang hal
ini sebagai bukti kebenaran
hadis tersebut.

jabal Uhud.._..bukit menyendiri

Jabal
Uhud, termasuk
salah satu bukit
yang sangat memiliki nilai
sejarah penting dalam sejarah
Islam. Di bukit ini, terjadi
peperangan yang sangat
memilukan dalam sejarah
Islam. Pasukan kaum Muslimin
yang dipimpin langsung Nabi
Muhammad SAW, bertempur
habis-habisan dengan kaum
musyrikin Kota Makkah.
Kisah pilu ini, digambarkan
oleh Rasul dengan menyebut
bukit ini sebagai bukit yang
nantinya akan bisa dilihat di
Surga. Jadi, umat Islam yang
kini akan melaksanakan
ibadah haji dan
menyempatkan diri untuk
berziarah ke Bukit Uhud, insya
Allah saat berada di Surga
juga akan menyaksikan
kembali bukit ini.
Kepiluan Nabi Muhammad di
Bukit Uhud, tak lepas dari
kisah pertempuran yang
terjadi di kawasan ini. Dalam
pertempuran itu, ratusan
sahabat nabi gugur. Termasuk
juga paman Rasul, Hamzah bin
Abdul Muthalib, gugur dan
dimakamkan di bukit ini.
Bahkan, Nabi Muhammad
SAW mengatakan, kaum
Muslimin yang gugur dan
dimakamkan di Uhud tak
memperoleh tempat lain
kecuali ruhnya berada pada
burung hijau yang melintasi
sungai Surgawi. Burung-
burung itu memakan makanan
dari buah-buahan yang ada di
taman surga, dan tak akan
pernah kehabisan makanan.
Di kawasan Uhud itu,
pertempuran spiritual dan
politik dalam arti sebenarnya
memang terjadi. Ketika itu,
pasukan diberi pilihan antara
kesetiaan pada agama dan
kecintaan pada harta. Melihat
lokasi dan kawasan
perbukitan yang
mengelilinginya, maka orang
bisa membayangkan
bagaimana sulitnya medan
perang ketika itu.
Perang di kawasan Uhud,
bermula dari keinginan balas
dendam kaum kafir Quraisy
seusai kekalahan mereka
dalam Perang Badar. Mereka
berencana menyerbu umat
Islam yang ada di Madinah.
Peristiwanya terjadi pada 15
Syawal 3 H, atau sekitar bulan
Maret 625.
Menghadapi rencana
penyerbuan tersebut,
Rasulullah memerintahkan
barisan pasukan Muslimin
menyongsong kaum kafir itu
di luar Kota Madinah. Strategi
pun disusun. Sebanyak 50
pasukan pemanah, oleh
Rasulullah yang memimpin
langsung pasukannya,
ditempatkan di atas Jabal
Uhud. Mereka diperintahkan
menunggu di bukit tersebut,
untuk melakukan serangan
apabila kaum Quraisy
menyerbu, terutama pasukan
berkudanya. Sedangkan
pasukan lainnya, menunggu di
celah bukit.
Maka, perang antara pasukan
kaum Muslimin yang
berjumlah 700 orang melawan
kaum musyrikin Makkah yang
berjumlah 3.000 orang,
akhirnya berkobar. Dalam
perang dahsyat itu pasukan
Muslimin sebenarnya sudah
memperoleh kemenangan
yang gemilang.
Namun, kemanangan tersebut
berbalik menjadi kisah pilu,
karena pasukan pemanah
kaum Muslimin yang tadinya
ditempatkan di Bukit Uhud,
tergiur barang-barang kaum
musyrikin yang sebelumnya
sempat melarikan diri.
Melihat kaum musyrikin
melarikan diri dan barang
bawaannya tergeletak di
lembah Uhud, pasukan
pemanah meninggalkan
posnya dengan menuruni
bukit. Padahal, sebelumnya
Nabi Muhammad SAW telah
menginstruksikan agar tidak
meninggalkan Bukit Uhud,
walau apa pun yang terjadi.
Adanya pengosongan pos oleh
pemanah tersebut digunakan
oleh panglima kaum
musyrikin, Khalid bin Walid
(sebelum masuk Islam) untuk
menggerakkan kembali
tentaranya guna menyerang
umat Islam. Khalid bin Walid
ini, sebelumnya memang
digambarkan sebagai seorang
ahli strategi yang memimpin
tentara berkuda.
Akibat serangan balik
tersebut, umat Islam
mengalami kekalahan tidak
sedikit. Sebanyak 70 orang
sahabat gugur sebagai
syuhada. Termasuk paman
Rasulullah, Hamzah bin Abdul
Muthalib. Nabi SAW sangat
bersedih atas kematian
pamannya tersebut.
Kematian paman nabi ini,
akibat ulah Hindun binti
Utbah, istri seoran kaum
musyrikin, yang mengupah
Wahsyi Alhabsyi, seorang
budak, untuk membunuh
Hamzah. Tindakan balas
dendam dilakukan Hindun,
karena ayahnya dibunuh oleh
Hamzah dalam Perang Badar.
Wahsyi dijanjikan akan
mendapat kemerdekaan bila
dapat membunuh Hamzah
dalam peperangan ini.
Dalam pertempuran itu, Nabi
Muhammad SAW juga
mengalami luka-luka yang
cukup parah. Bahkan,
sahabat-sahabatnya yang
menjadi perisai pelindung
Rasulullah, gugur dengan
tubuh dipenuhi anak panah.
Setelah perang usai dan kaum
musyrikin mengundurkan diri
kembali ke Makkah, Nabi
Muhammad SAW
memerintahkan agar para
sahabatnya yang gugur
dimakamkan di tempat
mereka roboh, sehingga ada
satu liang kubur untuk
memakamkan beberapa
syuhada. Jenazah para
syuhada Uhud ini, akhirnya
dimakamkan dekat lokasi
perang serta dishalatkan satu
per satu sebelum dikuburkan.
Adapun Sayidina Hamzah bin
Abdul Muthalib, dishalatkan
sebanyak 70 kali. Beliau pun
dimakamkan menjadi satu
dengan Abdullah bin Jahsyi
(sepupu Nabi) di lokasi
terpisah dengan lokasi para
syuhada yang lain.
Kini, jika kita datang ke lokasi
tersebut, kompleks
pemakaman itu akan terlihat
sangat sederhana, hanya
dikelilingi pagar setinggi 1,75
meter. Dari luar hanya ada
jeruji, sehingga jamaah bisa
melongok sedikit ke dalam.
Bahkan, di dalam areal
permakaman yang dikelilingi
pagar itu, tidak ada tanda-
tanda khusus seperti batu
nisan, yang menandakan ada
makam di sana.
Namun demikian, ziarah ke
Jabal Uhud telah menjadi
menu penting bagi segenap
jamaah haji/umrah, ketika
berada di Kota Suci Madinah.
Dari manapun mereka
berasal, mereka bisanya akan
berusaha berziarah ke
kompleks makam tersebut.
Seperti yang dikisahkan,
lantaran kecintaan Rasulullah
kepada para syuhada Uhud,
beliau senantiasa berziarah ke
Jabal Uhud hampir setiap
tahun. Langkah beliau
kemudian juga diikuti oleh
beberapa sahabat sesudah
Rasul wafat. Bahkan,
dikisahkan bahwa Umar dan
Abubakar, juga selalu
mengingatkan Rasul jika
perjalanannya telah
mendekati Uhud.
Bukit Uhud tersebut, bila
dilihat dari kejauhan berwarna
agak kemerahan dan terpisah
dari bukit-bukit lainnya. Jabal
ini merupakan bukit terbesar
di Madinah yang terletak
sekitar lima kilometer dari
pusat Kota Madinah.
Ketinggian buktik, sekitar
1.050 meter.
Bentuk Jabal Uhud, seperti
sekelompok gunung yang
tidak bersambungan dengan
gunung-gunung yang lain.
Sementara umumnya bukit di
Madinah, berbentuk sambung
menyambung. Karena itulah,
penduduk Madinah
menyebutnya Jabal Uhud yang
artinya 'bukit menyendiri'.

Sabtu, 21 Agustus 2010

arti kisah sebuah batu kusam

Sebenarnya alam memberikan
berbagai pelajaran buat kita,
kita adalah sebongkah batu,
kondisi lapuk, berlumut, dan
rapuh, adalah kondisi kita
yang tidak mampu melawan
cobaan. Pukulan, godam,
gesekan gerinda, percikan api,
polesan ampelas adalah
gambaran dari cobaan yang
datang untuk menempa kita
Terkadang kita menolak
cobaan yang datang, tetapi
sebenarnya cobaan tersebut
adalah sarana yang datang
dari sang pencipta untuk
membentuk kepribadian kita
sehingga kita bisa terlihat
bersinar
Sekarang kita pikirkan,
dimanakah posisi kita? Apakah
kita seonggok batu yang tidak
berharga? Ataukah kita
seonggok batu yang sedang
mengalami proses menjadi
sebuah batu penghias cincin
yang memiliki nilai yang
mahal?

cangkir yang cantik

Seperti inilah Tuhan
membentuk kita, pada saat
Tuhan membentuk kita,
tidaklah menyenangkan, sakit,
penuh penderitaan, dan
banyak air mata, tetapi inilah
satu – satunya bagi-Nya untuk
mengubah kita supaya
menjadi cantik dan
memancarkan kemuliaan-Nya
Anggaaplah sebagai suatu
kebahagiaan apabila kamu
jatuh ke dalam berbagai
percobaan , sebab anda tahu
bahwa ujian terhadap kita
menghasilkan ketekunan, dan
biarkanlah ketekunan iut
memperoleh buah yang
matang supaya anda menjadi
sempurna dan utuh dan tak
kurang dari kekurangan suatu
apapun
Apabila anda sedang
menghadapi ujian hidup,
jangan kecil hati, karena dia
sedang membentuk anda,
bentukan – bentukan ini
memang menyakitkan tetapi
setelah semua proses itu
selesai, anda akan melihat
betapa cantiknya Tuhan
membentuk anda

gema......kehidupan

Seorang bocah mengisi waktu
luang dengan kegiatan
mendaki gunung bersama
ayahnya. Entah mengapa,
tiba-tiba si bocah kesandung
akar pohon dan jatuh.
"Aduhhhhh!" jeritannya
memecah keheningan suasana
pegunungan. Si bocah amat
terkejut, ketika ia
mendengar suara di kejauhan
menirukan teriakannya
persis sama, "Aduhhhhh!"
Dasar anak-anak, ia berteriak
lagi, "Hei! Siapa kau?"
Jawaban yang terdengar, "Hei!
Siapa kau?" Lantaran
kesal mengetahui suaranya
selalu ditirukan, si anak
berseru, "Pengecut kamu!"
Lagi-lagi ia terkejut ketika
suara dari sana membalasnya
dengan umpatan serupa. Ia
bertanya kepada sang ayah,
"Apa yang terjadi?"
Dengan penuh kearifan sang
ayah tersenyum, "Anakku,
coba perhatikan." Lelaki
paruh baya itu berkata keras,
"Saya kagum padamu!" Suara
di kejauhan menjawab, "Saya
kagum padamu!" Sekali lagi
sang ayah berteriak "Kamu
sang juara!" Suara itu
menjawab, "Kamu sang
juara!"
Sang bocah sangat keheranan,
meski demikian ia tetap
belum mengerti. Lalu sang
ayah menjelaskan, "Suara itu
adalah GEMA, tapi
sesungguhnya itulah
KEHIDUPAN."
Kehidupan memberi umpan
balik atas segala ucapan dan
tindakanmu. Dengan kata lain,
kehidupan kita adalah
sebuah pantulan atau
bayangan atas tindakan kita.
Bila
kamu ingin mendapatkan lebih
banyak cinta di dunia
ini, ya ciptakan cinta di dalam
hatimu. Bila kamu
menginginkan tim kerjamu
punya kemampuan tinggi, ya
tingkatkan kemampuan itu.
Hidup akan memberikan
kembali segala sesuatu yang
telah kau berikan
kepadanya. Ingat, hidup bukan
sebuah kebetulan tapi
sebuah bayangan dirimu.

Jumat, 20 Agustus 2010

Cinta dan Keakraban Ilahi

Keakraban adalah
kebersamaan yang dicapai
dengan cinta. Begitu
banyaknya kesamaan diri kita
dengan Allah sehingga kita
akan merasakan begitu dekat
dengan-Nya. Diri kita memang
tidak bisa dipisahkan dengan-
Nya karena kita semua
berasal dari-Nya, Inna lillahi
wa inna ilaihi raji'un.
Seperti laut dan
gelombangnya, lampu dan
cahayanya, api dan panasnya;
berbeda tetapi tidak dapat
dipisahkan. Allah dan
makhluk-Nya, berbeda tetapi
tak bisa dipisahkan. Kita tidak
bisa mengatakan bahwa laut
sama dengan gelombang,
lampu sama dengan cahaya,
atau api sama dengan bara,
demikian pula kita tidak bisa
mengatakan bahwa makhluk
sama dengan Khaliq.
Lautan cinta pada diri
seseorang akan mengimbas
pada seluruh ruang. Jika cinta
sudah terpatri dalam seluruh
jaringan badan kita maka
vibrasinya akan menghapus
semua kebencian. Sebagai
manifestasinya dalam
kehidupan, begitu bertemu
dengan seseorang, ia
tersenyumm, sebagai
ungkapan dan tanda rasa
cinta.
Nikmat sekali bermesraan
dengan Allah SWT. Kadang
tidak terasa air mata meleleh.
Air mata kerinduan dan air
mata tobat inilah yang kelak
akan memadamkan api
neraka. Air mata cinta akan
memutihkan noda-noda hitam
dan menjadikannya suci.
Cinta tidak bisa diterangkan,
hanya bisa dirasakan.
Terkadang terasa tidak cukup
kosakata yang tersedia untuk
menggambarkan bagaimana
nikmatnya cinta. Kosakata
yang tersedia didominasi oleh
kebutuhan fisik sehingga
untuk mencari kata yang bisa
memfasilitasi keinginan rohani
tidak cukup.
Terminologi dan kota kata
yang tersedia lebih banyak
berkonotasi cinta kepada fisik
materi, tetapi terlalu sedikit
kosa kata cinta secara
spiritual. Mungkin itulah
sebabnya mengapa Allah Swt
memilih bahasa Arab sebagai
bahasa Al-Qur'an karena kosa
kata spiritualnya lebih kaya.
Kosa kata cinta dalam Al-
Qur'an menurut ulama tafsir
ada 14 kosa kata, mulai dari
cinta monyet sampai kepada
cinta Ilahi.
Cinta Allah bersifat primer,
sementara cinta hamba
sekunder. Primer itu inti,
substansi. Yang sekunder itu
tidak substansial. Pemilik cinta
sesungguhnya hanya Allah
SWT. Hakikat cinta yang
sesungguhnya adalah
unconditional love (cinta
tanpa syarat). Tanpa pamrih
ini cinta primer. Ini berbeda
dengan cinta kita yang
memiliki kepentingan.
Ketika sebelum kawin, masya
Allah, kita sampai kehabisan
kata-kata melukiskan
kebaikan pujaan kita. Akan
tetapi sesudah kawin, kata-
kata paling kasar pun tak
jarang kita lontarkan.
Unconditional love pernah
ditunjukan Rasulullah
Muhammad SAW ketika
dilempari batu sampai
tumitnya berdarah-darah oleh
orang Thaif. Rasul hanya
tersenyum. "Aduh umatku,
seandainya engkau tahu visi
misi yang kubawa, engkau
pasti tidak akan melakukan
ini", demikian bisiknya,.
Bahkan ketika datang
malaikat penjaga gunung
Thaif menawarkan bantuan
untuk membalas perbuatan
orang Thaif itu, Nabi berucap,
"Terima kasih. Allah lebih
kuasa daripada makhluk.
Jangan diapa-apakan. Mereka
hanya tidak tahu. Kelak kalau
mereka sadar, mereka akan
mencintai saya".
Nabi Nuh AS pernah menyesal
sejadi-jadinya kenapa ia
pernah mendoakan umatnya
binasa. 950 tahun ia
berdakwah mengajak
kaumnya ke jalan Allah,
namun hanya segelintir yang
mengikuti ajakannya. Yang
lainnya ingkar sehingga Nabi
Nuh berdoa kepada Allah
agar dikirimkan bencana
kepada kaumnya yang ingkar
itu. Maka datanglah banjir
besar yang menenggelamkan
mereka, sedangkan Nuh dan
para pengikutnya sudah
mempersiapkan diri dengan
membuat perahu.
Ada sebuah ungkapan dari
ahli hakekat: "Kalau cinta
sudah meliputi, maka tak ada
lagi ruang kebencian di dalam
diri seseorang. Sejelek apapun
dan kasarnya orang lain, ia
tak akan membalas dengan
kejelekan."
Banyak ulama besar kita telah
mencapai tingkatan itu. Imam
Syafi'i pernah "dikerjai" oleh
seorang tukang jahit saat
memesan pembuatan baju.
Lengan kanan baju itu lebih
besar/longgar dibanding
lengan kirinya yang kecil dan
sempit. Imam Syafi'i bukannya
komplain dan marah kepada
tukang jahit itu, malah
berterima kasih.
Kata Imam Syafi'i, "Kebetulan,
saya suka menulis dan lengan
yang lebih longgar ini
memudahkan saya untuk
menulis sebab lebih leluasa
bergerak".
Indah hidup ini kalau tidak ada
benci. Ini bukan berarti kita
harus menahan marah. Yang
kita lakukan adalah
bagaimana menjadikan diri ini
penuh cinta sehingga potensi
kemarahan kita berkurang.
Kita punya hak untuk marah,
dan itu harus diungkapkan
dengan proporsional.
Jangan karena makanan
sedikit kurang enak lalu
marah. Istri salah sedikit
marah. Banyak hal yang
membuat kita marah. Akan
tetapi, selesaikah persoalan
dengan marah?
Semakin meningkat kadar
cinta maka semakin mesra
pula belaian Allah SWT.
Bagaimanakah nikmatnya
belaian Allah SWT?
Bayangkanlah seorang bayi
yang dibelai ibunya.
Tersenyum, dan sekelilingnya
menggoda. Itu baru belaian
makhluk. Apalagi belaian
Sang Pencipta.
Kita pun akan semakin akrab
dengan Allah, dan semakin
tipis garis pembatas alam gaib
di hadapan kita sehingga
semua rahasia akan terkuak
dan semakin banyak keajaiban
yang kita lihat. Seperti
sepasang kekasih yang saling
mencintai, masih adakah
rahasia antara keduanya?
Ruh sifatnya tinggi dan
cenderung dekat dengan
Allah. Raga sifatnya rendah
dan jauh dari Allah. Ruh itu
terang, sedangkan raga gelap.
Para sufi mengungkapkan,
"Wahai raga, sibukkan dirimu
dengan shalat dan puasa.
Wahai kalbu, sibukkan dirimu
dengan bisikan munajat
kepada Allah. Wahai raga,
ungkapkan iyyka na'budu.
Wahai kalbu, ungkapkan iyyka
nasta'în."
Ta'abbud mendaki ke atas,
sedangkan isti'nah turun ke
bawah. Yang melakukan
ta'abbud adalah hamba,
sedangkan isti'nah adalah
Tuhan. Siapa yang naik akan
memancing yang di atas untuk
turun menyambut. Kalau tidak
pernah naik, jangan harap
akan ada yang turun.
Indah perjumpaan itu.
Ada ketakutan dan ada
harapan. Kadang kita takut
kepada Allah, tetapi juga kita
berharap. Ada al-khasya dan
ada al-raja'. Di balik
ketakutan sehabis berdosa
ada harapan bahwa kita akan
diampuni, ada keinginan
bersama Allah kembali. Maka
lahirlah tobat. Seperti pendaki
gunung yang tak pernah
bosan, naik ke atas,
terperosok ke bawah, naik
lagi, terperosok, dan naik lagi.
Semakin tinggi pendakian itu
semakin licin dan sulit.
Begitulah cobaan bagi
manusia. Semakin tinggi
kedudukan seseorang maka
cobaannya semakin berat.
Namun, cobaan itu jangan
membuat kita putus asa. Jika
kita terus mendaki, pasti kita
akan sampai ke puncak.
Ada ketakjuban dan ada
keakraban. Ketakjuban itu
ada jarak. Untuk mengagumi
suatu objek, kita harus
mengambil jarak dari objek
itu. Indahnya sebuah lukisan
hanya akan terasa jika kita
agak jauh dari lukisan itu.
Keakraban itu tidak ada jarak,
atau sangat dekat sekali.
Inilah kita dengan Tuhan.
Akrab tetapi takjub.
Ada pemusatan dan ada
penyebaran. Allah Maha Esa.
Kita fokus ke situ. Akan
tetapi, apa yang dilihat
pancaindera itu beragam dan
beraneka. Namun, semuanya
terhubungkan dengan Allah.
Warna-warni yang kita lihat di
alam semesta ini sumbernya
satu, Allah Yang Esa.
Ada kehadiran dan ada
ketiadaan. Ini lebih menukik.
Satu sisi kita merasakan Allah
hadir dalam diri kita, di sisi
lain hampa. Kadang kita
kosong, kadang penuh.
Kadang Dia muncul, kadang
tiada. Dia adalah Mahaada,
meski tak terlihat. Dan yang
terlihat ini sebetulnya adalah
manifestasi dari Yang Ada.
Ketiadaan di sini bukan berarti
menafikan.
Ada kemabukan dan ada
kewarasan. Yang bisa
memabukkan bukan hanya
alkohol dan narkoba. Ada
mabuk positif dan ada mabuk
negatif. Mabuk bagi seorang
sufi adalah supersadar (di atas
kesadaran). Kesadaran seperti
ini susah dijelaskan. Ketika
kita sedang bermesraan
dengan Allah, menangis di
atas sajadah, terisak-isak,
orang lain mungkin melihat
kita sedang tidak sadar. Akan
tetapi, sebenarnya kita sangat
sadar, bahkan kita sedang
berada di puncak bersama
Allah.
Ketika mencintai seseorang
saja kita bisa mabuk,
begadang semalaman,
membuat surat, dan lain-lain.
Berkhayal, berimajinasi,
membayangkan si dia hadir
bersama kita. Bagaimana
mabuknya kalau kita
mencintai Allah?
Seorang sufi yang sedang
mabuk kepada Allah, suka
mengungkapkan ucapan-
ucapan yang terdengar aneh
di mata orang lain
(syathahat). Misalnya "tak ada
di dalam jubahku ini selain
Allah". Berarti dalam jubah
itu ada dua sosok yang
bergumul menjadi satu,
hamba dan Tuhan. Atau
ungkapan subhnî subhnî
(Maha Suci aku). Aku adalah
Allah, Allah adalah aku.
Aku ini siapa? Tak ada. Yang
ada hanyalah Allah. Hanya
Allahlah yang wujud. Selain itu
hanya efek dari yang wujud.
Ada penafian dan ada
penetapan. Kadang kita ragu,
benarkah yang datang di
dalam kalbu ini Allah? Jangan-
jangan bukan, tetapi hanya
imajinasi saja. Di sini terjadi
pertentangan antara rasio dan
rasa. Maka untuk
meyakinkannya, kecilkan rasio
dan besarkan rasa. Yakinilah
bahwa kita telah mendaki,
dan kita sudah sampai puncak.
Maka yang kita jumpai
pastilah Allah. Maka akan ada
penampakan. Dan segala
rahasia gaib pun tersibak.

Pergi tanpa Pamit

Aku ingin pergi tanpa pamit.
Meninggalkanmu yang
sesungguhnya meninggalkanku
terlebih dahulu. Aku ingin
memberi jeda meskipun kau
takkan pernah bisa
merasakannya. Kau hanya
bertanya ”Mengapa?” tanpa
bisa meraba. Katamu kau tak
mau mereka-reka.
Aku ingin menjauh seperti kau
menjauhiku waktu itu. Aku tak
berharap kau merasa bersalah
atau kehilanganku. Aku tidak
butuh hal itu.
Aku hanya tak ingin lagi
merasakan bila kau datang
dan pergi sesuka hatimu.
Menghilang kala aku ada, dan
tiba tiba menjelma di depan
pintu jika kakiku kan beranjak.
Menghalangiku untuk pergi
tanpa rasa berdosa.
Aku lelah. Aku sedang tidak
berminat untuk melegakan
keinginanmu.
Aku pergi. Tak ada gunanya
aku di sini. Kau pun takkan
merasa aku ada. Tak akan lagi
kau temukan aku di setiap
perjamuan. Tak akan lagi kau
dapatkan jawaban di setiap
pesan. Tak akan kau dapatkan
gurauanku di halaman maya
yang kau perbarui setiap hari.
Dan ucapanku hanya menjadi
angin lalu yang berhembus
tanpa sempat membelaimu.
Aku pergi. Ya, aku pergi. Tak
ada Selamat tinggal untukmu
kawan

Rasulullah Mendengar Suara Langkah Bilal di Surga

Rasulullah
mempunyai
banyak sahabat yang turut
serta dalam perjuangan
menegakkan syariah Islam.
Mereka bersama-sama dalam
suka maupun duka. Para
sahabat itu tak hanya berasal
dari kalangan suku-suku Arab.
Mereka juga datang dari
kalangan non-Arab, seperti
halnya Bilal bin Rabah.
Sebagai mana keturunan
Afrika, Bilal memiliki postur
tinggi, kurus, dan warna kulit
hitam. Dia memiliki nama
lengkap Bilal bin Rabah Al-
Habasyi. Ia biasa dipanggil
Abu Abdillah dan digelari
Muadzdzin Ar-Rasul. Habasyah
merupakan Ethiopia saat ini.
Ibunya adalah sahaya milik
Umayyah bin Khalaf dari Bani
Jumuh. Bilal menjadi budak
mereka, hingga akhirnya ia
mendengar tentang Islam.
Tanpa ada keraguan, ia
menemui Nabi dan
mengikrarkan diri masuk
Islam.
Umayyah bin Khalaf pernah
menyiksanya dan
membiarkannya di tengah
gurun pasir selama beberapa
hari. Di perutnya diikat sebuah
batu besar dan lehernya diikat
dengan tali. Lalu, orang-orang
kafir menyuruh anak-anak
mereka untuk menyeretnya di
antara perbukitan Makkah.
Meski disiksa, keimanan Bilal
tak pernah luntur. Saat
dijemur di panas terik padang
pasir, Bilal selalu
mengucapkan ''Ahad-Ahad''
dan menolak mengucapkan
kata kufur. Abu Bakar lalu
memerdekakannya. Saat itu
Umar bin Khattab
berujar,''Abu Bakar adalah
seorang pemimpin (sayyid)
kami, dan dia telah
memerdekakan seorang
pemimpin (sayyid) kami.''
Setelah hijrah, adzan
disyariatkan. Lalu Bilal
mengumandangkan adzan. Ia
adalah muadzin pertama
dalam Islam, karena ia
memiliki suara yang bagus.
Pada saat pembebasan kota
Makkah, Rasulullah menyuruh
Bilal untuk
mengumandangkan adzan di
belakang Ka'bah.
Adzan itu adalah adzan yang
pertama dikumandangkan di
Makkah. Pasca wafatnya
Rasulullah, ia menolak untuk
menjadi muadzdzin lagi
karena tak sanggup menyebut
nama Rasulullah dalam
adzannya. Usai wafatnya Nabi,
bahkan dia hanya sanggup
melantunkan adzan selama
tiga hari. Itu pun disertai
tangisannya tatkala
mengucapkan nama
Rasulullah dalam adzan.
Ia juga pernah menjabat
sebagai bendahara Rasulullah
di Bait Al-Mal. Ia tidak pernah
absen mengikuti semua
peperangan bersama
Rasulullah. Tentang Bilal,
Rasulullah SAW
mengatakan,''Bilal adalah
seorang penunggang kuda
yang hebat dari kalangan
Habasyah.'' (Hadits Riwayat
Ibnu Abi Syaibah dan Ibn
Asakir)
Suatu ketika, selesai sholat
Subuh, Rasulullah pernah
bertanya kepada Bilal, ''Wahai
Bilal, ceritakan kepadaku
tentang amalan yang paling
bermanfaat yang telah kamu
lakukan setelah memeluk
Islam. Karena semalam aku
mendengar suara langkahmu
di depanku di surga.''
Bilal menjawab, ''Aku tidak
pernah melakukan suatu
amalan yang paling
bermanfaat setelah memeluk
Islam selain aku selalu
berwudhu dengan sempurna
pada setiap malam dan siang,
kemudian melakukan sholat
sunat dengan wudhu itu
sebanyak yang Allah
kehendaki.'' (Hadist riwayat
Abu Hurairah ra)

Kamis, 19 Agustus 2010

Hiduplah Bagai Pengembara

Kita pasti
telah sangat mengenal kata
ini, pengembara. Kata
pengembara sering
disandingkan dengan kata
lainnya menjadi sebuah frase
seperti, pengembara berkuda,
pengembara cinta, dan
lainnya. Namun pada
hakikatnya makna kata
pengembara adalah
gambaran orang yang
melakukan sebuah perjalanan
panjang ke berbagai tempat
yang belum pernah
diketahuinya dalam mencapai
sebuah tujuan.
Kehidupan kita yang berjalan
terus setiap hari sebenarnya
adalah bentuk
pengembaraan. Tidak ada
yang tahu sampai dimana kita
akan bernafas, dan apa yang
akan menimpa kita esok pagi,
semuanya misteri.
Jika seseorang berniat
melakukan petualangan di
alam liar, semisal panjat
tebing atau mendaki gunung,
dia pasti akan banyak
melakukan persiapan, baik
fisik maupun mental. Lebih
dari itu, dia harus
menyediakan berbagai
peralatan yang baik dan
berkualitas agar
pendakiannya lancar.
Tujuannya sudah diketahui,
yakni sampai di puncak
dengan selamat. Namun
bagaimana proses itu akan
berjalan, dia tidak pernah
tahu sampai benar-benar
mengalaminya sendiri.
Demikian pula didalam
menjalani hidup sehari-hari.
Kita ingin mencapai sebuah
kebahagiaan di masa depan.
Itulah tujuannya, namun
bagaimana proses meraihnya,
kita juga tidak pernah tahu.
Apakah kita akan sampai atau
harus undur diri dari
gelanggang hidup karena
umur kita yang ditakdirkan
pendek?
Sekali lagi, tidak ada seorang
pun yang tahu. Bahkan
seorang ahli peramal
sekalipun, dia pasti tidak
menyangka bahwa beberapa
waktu setelah dia
memprediksi ini itu tentang
masa depan, dia sendiri
meninggal. Kematiannya
sendiri tidak pernah ia dapat
perkirakan.
Rasulullah mengajarkan pada
kita semua bagaimana
menjalani kehidupan ini. "Dari
Ibnu Umar RA berkata:
Rasulullah Saw memegang
pundak kedua pundak saya
seraya bersabda: Jadilah
engkau di dunia seakan-akan
orang asing atau
pengembara. Ibnu Umar
berkata: Jika kamu berada di
sore hari jangan tunggu pagi
hari, dan jika kamu berada di
pagi hari jangan tunggu sore
hari, gunakanlah
kesehatanmu untuk
(persiapan saat) sakitmu dan
kehidupanmu untuk
kematianmu," (HR Imam
Bukhari).
Keistimewaan pengembara
adalah hikmah yang
dimilikinya bahwa dia harus
bersegera mengerjakan
pekerjaan baik dan
memperbanyak ketaatan,
tidak lalai dan menunda-
nunda karena kita tidak tahu
kapan ajal menjemput kita.
Hikmah lain adalah bahwa
kita harus menggunakan
momentum dan kesempatan
yang datang sebelum semua
itu lenyap. Untuk mencapai
tempat tujuan, seorang
pengembara wajib membawa
kompas dan peta dan
bertanya kepada orang lain.
Di dalam kehidupan, kita pun
harus memiliki penuntun agar
tidak tersesat dalam mencari
tujuan.
Peta dapat diibaratkan
sebagai Al-Qur'an dan Al-
hadits sementara orang
berilmu dan ahli agama
adalah tempat bertanya di
kala dalam kebingungan.
Bacalah peta dengan baik,
pergunakan kompas dengan
tepat dan bertanyalah kepada
orang yang tahu agar
pengembaraan hidup ini dapat
berakhir di tempat tujuan
yang kita idamkan dengan
selamat, yaitu surga.

bersihkan Hati

"Sesungguhnya di dalam diri
manusia ada segumpal
daging. Jika daging tersebut
baik, baiklah seluruh
perbuatannya. Jika daging
tersebut buruk, buruklah
seluruh perbuatannya.
Ketahuilah, segumpal daging
itu adalah hati." (Hadits Nabi
saw).
Hati adalah milik manusia
paling berharga. Sayangnya,
tidak semua manusia
mengetahui dan
menyadarinya sehingga
mereka tidak sungguh-
sungguh dalam
memeliharanya. Kondisi hati
seseorang memiliki pengaruh
yang besar terhadap sikapnya
dalam menjalani hidup.
Seberat apa pun kesulitan dan
kesengsaraan yang menimpa,
tak akan berat dipikul jika
dihadapi dengan hati yang
lapang dan ridha.
Setiap orang tentu
mendambakan hidup yang
bahagia, bukan hanya di
dunia, tetapi juga di akhirat.
Hati yang bersih dapat
mengantarkan manusia
meraih kebahagiaan yang
dicita-citakan tersebut.
Mencapai kondisi hati yang
bersih bukanlah perkara
mudah, tetapi juga bukan
perkara yang mustahil. Untuk
meraihnya, diperlukan tekad
yang kuat, kesungguhan,
kedisiplinan, dan juga
konsistensi.

Terjemahan Surah Al-Qiaamah

Terjemahan :
1. Saya bersumpah dengan
hari kiamat,
2. dan saya bersumpah dengan
jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri).
3. Apakah manusia mengira,
bahwa Kami tidak akan
mengumpulkan (kembali)
tulang-belulangnya?
4. Bukan demikian,
sebenarnya Kami kuasa
menyusun (kembali) jari
jemarinya dengan sempurna.
5. Bahkan manusia itu hendak
membuat maksiat terus
menerus.
6. Ia bertanya: `Bilakah hari
kiamat itu?`
7. Maka apabila mata
terbelalak (ketakutan),
8. dan apabila bulan telah
hilang cahayanya,
9. dan matahari dan bulan
dikumpulkan,
10. pada hari itu manusia
berkata: `Ke mana tempat
lari?`
11. Sekali-kali tidak! Tidak ada
tempat berlindung!
12. Hanya kepada Tuhanmu
sajalah pada hari itu tempat
kembali.
13. Pada hari itu diberitakan
kepada manusia apa yang
telah dikerjakannya dan apa
yang dilalaikannya.
14. Bahkan manusia itu
menjadi saksi atas dirinya
sendiri,
15. meskipun dia
mengemukakan alasan-
alasannya.
16. Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al
Quran karena hendak cepat-
cepat (menguasai) nya.
17. Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya.
18. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.
19. Kemudian, sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah
penjelasannya.
20. Sekali-kali jangan.
Sebenarnya kamu (hai
manusia) mencintai kehidupan
dunia,
21. dan meninggalkan
(kehidupan) akhirat.
22. Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-
seri.
23. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat.
24. Dan wajah-wajah (orang
kafir) pada hari itu muram,
25. mereka yakin bahwa akan
ditimpakan kepadanya
malapetaka yang amat
dahsyat.
26. Sekali-kali jangan. Apabila
nafas (seseorang) telah
(mendesak) sampai ke
kerongkongan,
27. dan dikatakan
(kepadanya): `Siapakah yang
dapat menyembuhkan?`,
28. Dan dia yakin bahwa
sesungguhnya itulah waktu
perpisahan (dengan dunia),
29. dan bertaut betis (kiri)
dengan betis (kanan),
30. kepada Tuhanmulah pada
hari itu kamu dihalau.
31. Dan ia tidak mau
membenarkan (Rasul dan Al
quran) dan tidak mau
mengerjakan shalat,
32. tetapi ia mendustakan
(Rasul) dan berpaling (dari
kebenaran),
33. kemudian ia pergi kepada
ahlinya dengan berlagak
(sombong).
34. Kecelakaanlah bagimu (hai
orang kafir) dan
kecelakaanlah bagimu,
35. kemudian kecelakaanlah
bagimu (hai orang kafir) dan
kecelakaanlah bagimu.
36. Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa
pertanggungan jawab)?
37. Bukankah dia dahulu
setetes mani yang
ditumpahkan (ke dalam
rahim),
38. kemudian mani itu menjadi
segumpal darah, lalu ALLOH
menciptakannya, dan
menyempurnakannya,
39. lalu ALLOH menjadikan
daripadanya sepasang; laki-
laki dan perempuan.
40. Bukankah (ALLOH berbuat)
demikian berkuasa (pula)
menghidupkan orang mati?