Jumat, 20 Agustus 2010

Cinta dan Keakraban Ilahi

Keakraban adalah
kebersamaan yang dicapai
dengan cinta. Begitu
banyaknya kesamaan diri kita
dengan Allah sehingga kita
akan merasakan begitu dekat
dengan-Nya. Diri kita memang
tidak bisa dipisahkan dengan-
Nya karena kita semua
berasal dari-Nya, Inna lillahi
wa inna ilaihi raji'un.
Seperti laut dan
gelombangnya, lampu dan
cahayanya, api dan panasnya;
berbeda tetapi tidak dapat
dipisahkan. Allah dan
makhluk-Nya, berbeda tetapi
tak bisa dipisahkan. Kita tidak
bisa mengatakan bahwa laut
sama dengan gelombang,
lampu sama dengan cahaya,
atau api sama dengan bara,
demikian pula kita tidak bisa
mengatakan bahwa makhluk
sama dengan Khaliq.
Lautan cinta pada diri
seseorang akan mengimbas
pada seluruh ruang. Jika cinta
sudah terpatri dalam seluruh
jaringan badan kita maka
vibrasinya akan menghapus
semua kebencian. Sebagai
manifestasinya dalam
kehidupan, begitu bertemu
dengan seseorang, ia
tersenyumm, sebagai
ungkapan dan tanda rasa
cinta.
Nikmat sekali bermesraan
dengan Allah SWT. Kadang
tidak terasa air mata meleleh.
Air mata kerinduan dan air
mata tobat inilah yang kelak
akan memadamkan api
neraka. Air mata cinta akan
memutihkan noda-noda hitam
dan menjadikannya suci.
Cinta tidak bisa diterangkan,
hanya bisa dirasakan.
Terkadang terasa tidak cukup
kosakata yang tersedia untuk
menggambarkan bagaimana
nikmatnya cinta. Kosakata
yang tersedia didominasi oleh
kebutuhan fisik sehingga
untuk mencari kata yang bisa
memfasilitasi keinginan rohani
tidak cukup.
Terminologi dan kota kata
yang tersedia lebih banyak
berkonotasi cinta kepada fisik
materi, tetapi terlalu sedikit
kosa kata cinta secara
spiritual. Mungkin itulah
sebabnya mengapa Allah Swt
memilih bahasa Arab sebagai
bahasa Al-Qur'an karena kosa
kata spiritualnya lebih kaya.
Kosa kata cinta dalam Al-
Qur'an menurut ulama tafsir
ada 14 kosa kata, mulai dari
cinta monyet sampai kepada
cinta Ilahi.
Cinta Allah bersifat primer,
sementara cinta hamba
sekunder. Primer itu inti,
substansi. Yang sekunder itu
tidak substansial. Pemilik cinta
sesungguhnya hanya Allah
SWT. Hakikat cinta yang
sesungguhnya adalah
unconditional love (cinta
tanpa syarat). Tanpa pamrih
ini cinta primer. Ini berbeda
dengan cinta kita yang
memiliki kepentingan.
Ketika sebelum kawin, masya
Allah, kita sampai kehabisan
kata-kata melukiskan
kebaikan pujaan kita. Akan
tetapi sesudah kawin, kata-
kata paling kasar pun tak
jarang kita lontarkan.
Unconditional love pernah
ditunjukan Rasulullah
Muhammad SAW ketika
dilempari batu sampai
tumitnya berdarah-darah oleh
orang Thaif. Rasul hanya
tersenyum. "Aduh umatku,
seandainya engkau tahu visi
misi yang kubawa, engkau
pasti tidak akan melakukan
ini", demikian bisiknya,.
Bahkan ketika datang
malaikat penjaga gunung
Thaif menawarkan bantuan
untuk membalas perbuatan
orang Thaif itu, Nabi berucap,
"Terima kasih. Allah lebih
kuasa daripada makhluk.
Jangan diapa-apakan. Mereka
hanya tidak tahu. Kelak kalau
mereka sadar, mereka akan
mencintai saya".
Nabi Nuh AS pernah menyesal
sejadi-jadinya kenapa ia
pernah mendoakan umatnya
binasa. 950 tahun ia
berdakwah mengajak
kaumnya ke jalan Allah,
namun hanya segelintir yang
mengikuti ajakannya. Yang
lainnya ingkar sehingga Nabi
Nuh berdoa kepada Allah
agar dikirimkan bencana
kepada kaumnya yang ingkar
itu. Maka datanglah banjir
besar yang menenggelamkan
mereka, sedangkan Nuh dan
para pengikutnya sudah
mempersiapkan diri dengan
membuat perahu.
Ada sebuah ungkapan dari
ahli hakekat: "Kalau cinta
sudah meliputi, maka tak ada
lagi ruang kebencian di dalam
diri seseorang. Sejelek apapun
dan kasarnya orang lain, ia
tak akan membalas dengan
kejelekan."
Banyak ulama besar kita telah
mencapai tingkatan itu. Imam
Syafi'i pernah "dikerjai" oleh
seorang tukang jahit saat
memesan pembuatan baju.
Lengan kanan baju itu lebih
besar/longgar dibanding
lengan kirinya yang kecil dan
sempit. Imam Syafi'i bukannya
komplain dan marah kepada
tukang jahit itu, malah
berterima kasih.
Kata Imam Syafi'i, "Kebetulan,
saya suka menulis dan lengan
yang lebih longgar ini
memudahkan saya untuk
menulis sebab lebih leluasa
bergerak".
Indah hidup ini kalau tidak ada
benci. Ini bukan berarti kita
harus menahan marah. Yang
kita lakukan adalah
bagaimana menjadikan diri ini
penuh cinta sehingga potensi
kemarahan kita berkurang.
Kita punya hak untuk marah,
dan itu harus diungkapkan
dengan proporsional.
Jangan karena makanan
sedikit kurang enak lalu
marah. Istri salah sedikit
marah. Banyak hal yang
membuat kita marah. Akan
tetapi, selesaikah persoalan
dengan marah?
Semakin meningkat kadar
cinta maka semakin mesra
pula belaian Allah SWT.
Bagaimanakah nikmatnya
belaian Allah SWT?
Bayangkanlah seorang bayi
yang dibelai ibunya.
Tersenyum, dan sekelilingnya
menggoda. Itu baru belaian
makhluk. Apalagi belaian
Sang Pencipta.
Kita pun akan semakin akrab
dengan Allah, dan semakin
tipis garis pembatas alam gaib
di hadapan kita sehingga
semua rahasia akan terkuak
dan semakin banyak keajaiban
yang kita lihat. Seperti
sepasang kekasih yang saling
mencintai, masih adakah
rahasia antara keduanya?
Ruh sifatnya tinggi dan
cenderung dekat dengan
Allah. Raga sifatnya rendah
dan jauh dari Allah. Ruh itu
terang, sedangkan raga gelap.
Para sufi mengungkapkan,
"Wahai raga, sibukkan dirimu
dengan shalat dan puasa.
Wahai kalbu, sibukkan dirimu
dengan bisikan munajat
kepada Allah. Wahai raga,
ungkapkan iyyka na'budu.
Wahai kalbu, ungkapkan iyyka
nasta'în."
Ta'abbud mendaki ke atas,
sedangkan isti'nah turun ke
bawah. Yang melakukan
ta'abbud adalah hamba,
sedangkan isti'nah adalah
Tuhan. Siapa yang naik akan
memancing yang di atas untuk
turun menyambut. Kalau tidak
pernah naik, jangan harap
akan ada yang turun.
Indah perjumpaan itu.
Ada ketakutan dan ada
harapan. Kadang kita takut
kepada Allah, tetapi juga kita
berharap. Ada al-khasya dan
ada al-raja'. Di balik
ketakutan sehabis berdosa
ada harapan bahwa kita akan
diampuni, ada keinginan
bersama Allah kembali. Maka
lahirlah tobat. Seperti pendaki
gunung yang tak pernah
bosan, naik ke atas,
terperosok ke bawah, naik
lagi, terperosok, dan naik lagi.
Semakin tinggi pendakian itu
semakin licin dan sulit.
Begitulah cobaan bagi
manusia. Semakin tinggi
kedudukan seseorang maka
cobaannya semakin berat.
Namun, cobaan itu jangan
membuat kita putus asa. Jika
kita terus mendaki, pasti kita
akan sampai ke puncak.
Ada ketakjuban dan ada
keakraban. Ketakjuban itu
ada jarak. Untuk mengagumi
suatu objek, kita harus
mengambil jarak dari objek
itu. Indahnya sebuah lukisan
hanya akan terasa jika kita
agak jauh dari lukisan itu.
Keakraban itu tidak ada jarak,
atau sangat dekat sekali.
Inilah kita dengan Tuhan.
Akrab tetapi takjub.
Ada pemusatan dan ada
penyebaran. Allah Maha Esa.
Kita fokus ke situ. Akan
tetapi, apa yang dilihat
pancaindera itu beragam dan
beraneka. Namun, semuanya
terhubungkan dengan Allah.
Warna-warni yang kita lihat di
alam semesta ini sumbernya
satu, Allah Yang Esa.
Ada kehadiran dan ada
ketiadaan. Ini lebih menukik.
Satu sisi kita merasakan Allah
hadir dalam diri kita, di sisi
lain hampa. Kadang kita
kosong, kadang penuh.
Kadang Dia muncul, kadang
tiada. Dia adalah Mahaada,
meski tak terlihat. Dan yang
terlihat ini sebetulnya adalah
manifestasi dari Yang Ada.
Ketiadaan di sini bukan berarti
menafikan.
Ada kemabukan dan ada
kewarasan. Yang bisa
memabukkan bukan hanya
alkohol dan narkoba. Ada
mabuk positif dan ada mabuk
negatif. Mabuk bagi seorang
sufi adalah supersadar (di atas
kesadaran). Kesadaran seperti
ini susah dijelaskan. Ketika
kita sedang bermesraan
dengan Allah, menangis di
atas sajadah, terisak-isak,
orang lain mungkin melihat
kita sedang tidak sadar. Akan
tetapi, sebenarnya kita sangat
sadar, bahkan kita sedang
berada di puncak bersama
Allah.
Ketika mencintai seseorang
saja kita bisa mabuk,
begadang semalaman,
membuat surat, dan lain-lain.
Berkhayal, berimajinasi,
membayangkan si dia hadir
bersama kita. Bagaimana
mabuknya kalau kita
mencintai Allah?
Seorang sufi yang sedang
mabuk kepada Allah, suka
mengungkapkan ucapan-
ucapan yang terdengar aneh
di mata orang lain
(syathahat). Misalnya "tak ada
di dalam jubahku ini selain
Allah". Berarti dalam jubah
itu ada dua sosok yang
bergumul menjadi satu,
hamba dan Tuhan. Atau
ungkapan subhnî subhnî
(Maha Suci aku). Aku adalah
Allah, Allah adalah aku.
Aku ini siapa? Tak ada. Yang
ada hanyalah Allah. Hanya
Allahlah yang wujud. Selain itu
hanya efek dari yang wujud.
Ada penafian dan ada
penetapan. Kadang kita ragu,
benarkah yang datang di
dalam kalbu ini Allah? Jangan-
jangan bukan, tetapi hanya
imajinasi saja. Di sini terjadi
pertentangan antara rasio dan
rasa. Maka untuk
meyakinkannya, kecilkan rasio
dan besarkan rasa. Yakinilah
bahwa kita telah mendaki,
dan kita sudah sampai puncak.
Maka yang kita jumpai
pastilah Allah. Maka akan ada
penampakan. Dan segala
rahasia gaib pun tersibak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar