Kewajiban yang
dikenal sebagai
zakat merupakan salah satu
dari lima rukun Islam. Namun,
permasalahan zakat tidak bisa
dipisahkan dari usaha dan
penghasilan masyarakat.
Demikian juga pada zaman
Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku 125 Masalah
Zakat karya Al-Furqon Hasbi
disebutkan bahwa awal Nabi
Muhammad SAW hijrah ke
Madinah, zakat belum
dijalankan. Pada waktu itu,
Nabi SAW, para sahabatnya,
dan segenap kaum muhajirin
(orang-orang Islam Quraisy
yang hijrah dari Makkah ke
Madinah) masih disibukkan
dengan cara menjalankan
usaha untuk menghidupi diri
dan keluarganya di tempat
baru tersebut. Selain itu, tidak
semua orang mempunyai
perekonomian yang cukup --
kecuali Utsman bin Affan --
karena semua harta benda
dan kekayaan yang mereka
miliki ditinggal di Makkah.
Kalangan anshar (orang-orang
Madinah yang menyambut dan
membantu Nabi dan para
sahabatnya yang hijrah dari
Makkah) memang telah
menyambut dengan bantuan
dan keramah-tamahan yang
luar biasa. Meskipun
demikian, mereka tidak mau
membebani orang lain. Itulah
sebabnya mereka bekerja
keras demi kehidupan yang
baik. Mereka beranggapan
pula bahwa tangan di atas
lebih utama daripada tangan
di bawah.
Keahlian orang-orang
muhajirin adalah berdagang.
Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-
Rabi' menawarkan hartanya
kepada Abdurrahman bin Auf,
tetapi Abdurrahman
menolaknya. Ia hanya minta
ditunjukkan jalan ke pasar. Di
sanalah ia mulai berdagang
mentega dan keju. Dalam
waktu tidak lama, berkat
kecakapannya berdagang, ia
menjadi kaya kembali.
Bahkan, sudah mempunyai
kafilah-kafilah yang pergi dan
pulang membawa
dagangannya.
Selain Abdurrahman, orang-
orang muhajirin lainnya
banyak juga yang melakukan
hal serupa. Kelihaian orang-
orang Makkah dalam
berdagang ini membuat
orang-orang di luar Makkah
berkata, ''Dengan
perdagangan itu, ia dapat
mengubah pasir sahara
menjadi emas.''
Perhatian orang-orang
Makkah pada perdagangan ini
diungkapkan dalam Alqur'an
pada ayat-ayat yang
mengandung kata-kata
tijarah: ''Orang yang tidak
dilalaikan oleh perdagangan
dan jual beli dari mengingat
Allah, melaksanakan shalat,
dan menunaikan zakat.
Mereka takut kepada hari
ketika hati dan penglihatan
menjadi guncang (hari
kiamat). (QS An-Nur:37)
Tidak semua orang muhajirin
mencari nafkah dengan
berdagang. Sebagian dari
mereka ada yang menggarap
tanah milik orang-orang
anshar. Tidak sedikit pula
yang mengalami kesulitan dan
kesukaran dalam hidupnya.
Akan tetapi, mereka tetap
berusaha mencari nafkah
sendiri karena tidak ingin
menjadi beban orang lain.
Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian Rasulullah SAW
menyediakan bagi mereka
yang kesulitan hidupnya
sebuah shuffa (bagian masjid
yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena
itu, mereka disebut Ahlush
Shuffa (penghuni shuffa).
Belanja (gaji) para Ahlush
Shuffa ini berasal dari harta
kaum Muslimin, baik dari
kalangan muhajirin maupun
anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan
perekonomian kaum Muslimin
mulai mapan dan pelaksanaan
tugas-tugas agama dijalankan
secara berkesinambungan,
pelaksanaan zakat sesuai
dengan hukumnya pun mulai
dijalankan. Di Yatsrib
(Madinah) inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya.
Disyariatkan
Ayat-ayat Alqur'an yang
mengingatkan orang mukmin
agar mengeluarkan sebagian
harta kekayaannya untuk
orang-orang miskin
diwahyukan kepada Rasulullah
SAW ketika beliau masih
tinggal di Makkah. Perintah
tersebut pada awalnya masih
sekedar sebagai anjuran,
sebagaimana wahyu Allah
SWT dalam surat Ar-Rum ayat
39: ''Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang
melipatgandakan
(pahalanya)''.
Namun menurut pendapat
mayoritas ulama, zakat mulai
disyariatkan pada tahun ke-2
Hijriah. Di tahun tersebut
zakat fitrah diwajibkan pada
bulan Ramadhan, sedangkan
zakat mal diwajibkan pada
bulan berikutnya, Syawal. Jadi,
mula-mula diwajibkan zakat
fitrah kemudian zakat mal
atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-
Mu'minun ayat 4: ''Dan orang
yang menunaikan zakat''.
Kebanyakan ahli tafsir
berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan zakat dalam
ayat di atas adalah zakat mal
atau kekayaan meskipun ayat
itu turun di Makkah. Padahal,
zakat itu sendiri diwajibkan di
Madinah pada tahun ke-2
Hijriah. Fakta ini menunjukkan
bahwa kewajiban zakat
pertama kali diturunkan saat
Nabi SAW menetap di
Makkah, sedangkan ketentuan
nisabnya mulai ditetapkan
setelah Beliau hijrah ke
Madinah.
Setelah hijrah ke Madinah,
Nabi SAW menerima wahyu
berikut ini, ''Dan dirikanlah
shalat serta tunaikanlah
zakat. Dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan
bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahalanya di sisi
Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa-apa yang
kamu kerjakan'' (QS Al-
Baqarah: 110). Berbeda
dengan ayat sebelumnya,
kewajiban zakat dalam ayat
ini diungkapkan sebagai
sebuah perintah, dan bukan
sekedar anjuran.
Mengenai kewajiban zakat ini
ilmuwan Muslim ternama,
Ibnu Katsir, mengungkapkan,
''Zakat ditetapkan di Madinah
pada abad kedua hijriyah.
Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah
merupakan zakat dengan nilai
dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang
ada sebelum periode ini, yang
dibicarakan di Makkah,
merupakan kewajiban
perseorangan semata''.
Sayid Sabiq menerangkan
bahwa zakat pada permulaan
Islam diwajibkan secara
mutlak. Kewajiban zakat ini
tidak dibatasi harta yang
diwajibkan untuk dizakati dan
ketentuan kadar zakatnya.
Semua itu diserahkan pada
kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin. Akan tetapi,
mulai tahun kedua setelah
hijrah -- menurut keterangan
yang masyhur -- ditetapkan
besar dan jumlah setiap jenis
harta serta dijelaskan secara
teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah,
Rasulullah SAW telah
memberi batasan mengenai
aturan-aturan dasar, bentuk-
bentuk harta yang wajib
dizakati, siapa yang harus
membayar zakat, dan siapa
yang berhak menerima zakat.
Dan, sejak saat itu zakat telah
berkembang dari sebuah
praktik sukarela menjadi
kewajiban sosial keagamaan
yang dilembagakan yang
diharapkan dipenuhi oleh
setiap Muslim yang hartanya
telah mencapai nisab, jumlah
minimum kekayaan yang wajib
dizakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar