Jumat, 29 Oktober 2010

BUKAN MINAL AIDIN WAL FAIZIN

Sebelum membahas Kata
Minal Aidzin wal faidzin, mari
kita perhatikan dalil dalil yg
membahasa tentang Ucapan
Ini:
“ Ucapan pada hari raya, di
mana sebagian orang
mengatakan kepada yang lain
jika bertemu setelah shalat
Ied : Taqabbalallahu minnaa
wa minkum “Artinya : Semoga
Allah menerima dari kami dan
dari kalian ”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[Majmu Al-Fatawa 24/253]
Dalam 'Al Mahamiliyat'
dengan isnad yang hasan dari
Jubair bin Nufair, ia berkata :
“ Para sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bila bertemu pada hari raya,
maka berkata sebagian
mereka kepada yang lainnya :
Taqabbalallahu minnaa wa
minka (Semoga Allah
menerima dari kami dan
darimu)”.
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari [2/446]
Muhammad bin Ziyad berkata:
“ Aku pernah bersama Abu
Umamah Al Bahili dan
selainnya dari kalangan
sahabat Nabi Shallallahu
‘ alaihi wa sallam. Mereka bila
kembali dari shalat Ied
berkata sebagiannya kepada
sebagian yang lain :
'Taqabbalallahu minnaa wa
minka ”
(Ibnu Qudamah dalam “Al-
Mughni” (2/259)
IMAM AHMAD menyatakan
bahwa ini adalah “Isnad hadits
Abu Umamah yang Jayyid/
Bagus. Beliau menambahkan :
“ Aku tidak pernah memulai
mengucapkan selamat kepada
seorangpun, namun bila ada
orang yang mendahuluiku
mengucapkannya maka aku
menjawabnya. Yang demikian
itu karena menjawab ucapan
selamat bukanlah sunnah
yang diperintahkan dan tidak
pula dilarang. Barangsiapa
mengerjakannya maka
baginya ada contoh dan siapa
yang meninggalkannya
baginya juga ada contoh,
wallahu a ’lam.”
[Al Jauharun Naqi 3/320.
Suyuthi dalam 'Al-Hawi:
(1/81) : Isnadnya hasan]
Nah, Sahabat. lalu kenapa
Minal Aidzin Walfaidzin?
Dikalangan masyarakat dan
media Televisi berjuta juta
muslim di indonesia sering
mendengar kata ini
digandengkan dengan kata
'Mohon maaf lahir batin'
sehingga kurang lebih Begini:
“MINALAIDIN WAL FAIDZIN -
MOHON MAAF LAHIR DAN
BATIN ”,
Seakan akan (mungkin yang
mengucapkan) menganggap
bahwa Minal Aidzin Wal
Faidzin Ini berarti Mohon Maaf
Lahir dan Batin..Benarkah
begitu? Coba perhatikan dan
analisa sendiri jika dua frase
itu diartikan secara
menyeluruh dalam bahasa
indonesia yg benar:
“ TERMASUK DARI ORANG
ORANG YANG KEMBALI
SEBAGAI ORANG YANG
MENANG - Mohon maaf lahir
dan Batin ”.
Sepertinya rada ngawur, do'a
bukan.. salam juga bukan :)
Coba lihat penerjemahan
makna frase Minal Aidzin Wal
Faidzin dalam bahasa Arab
berikut:
Min, artiinya “termasuk”.
Al-aidin, artinya”orang-orang
yang kembali”
Wa, artinya “dan”
Al-faidzin, artinya “ menang”.
Jadi makna "Minal Aidzin Wal
Faidzin" jika dipaksakan
diartikan dalam kai'dah
tatabahasa Arab - Indonesia
yg benar adalah “Termasuk
dari orang-orang yang
kembali (dari perjuangan
ramadhan) sebagai orang
yang menang ”.
=========
S O L U S I
=========
Nah lalu apa Solusi dari
kurangnya pemahaman
bahasa diatas ?
Tentunya selain agar kita
tidak ditertawain negeri
tetangga, dan tidak malu
maluin saat kita bertemu
dengan orang orang berilmu,
kita juga harus mengikuti Apa
yg Rasul / Sahabat contohkan
agar hal tersebut terhindar
dari hal hal Bid'ah.
Nah lho? Kok bid'ah?
Jangan tersinggung dulu,
untuk sahabat muslim yang
alergi dengan kata BIDAH.
mari perhatikan; dalam
budaya Arab, ucapan yang
disampaikan ketika
menyambut hari Idul Fitri
(yang mengikuti teladan nabi
Muhammad Saw) adalah
"Taqabbalallahu minna
waminkum", Kemudian
menurut riwayat ucapan nabi
ini ditambahkan oleh orang-
orang dekat jaman Nabi
dengan kata-kata"Shiyamana
wa Shiyamakum", yang
artinya puasaku dan puasamu,
sehingga kalimat lengkapnya
menjadi
"Taqabbalallahuminna wa
minkum, Shiyamana wa
Shiyamakum" (Semoga Alloh
menerima amalan puasa saya
dan Kamu).
Dari Riwayat tersebut Dan
seperti keterangan
keterangan yg dipaparkan
yang benar adalah dari
“ Taqabbalallahu… sampai …
shiyamakum”. tidak satupun
menyatakan ada istilah Minal
Aizin wal Faidzin. Atau Tanpa
minal Aidin wal faidzin.
Jadi mengucapkan Minalaidin
walfaidzin, JIKA KITA
mengucapkannya dengan niat
ingin mencontoh kebiasaan
Rosulullah/Ittiba ’qauly,
jatuhnya bisa menjadi Bid’ah,
TAPI KALAU niatnya hanya
untuk “Ingin mendoakan
sesama Saudara seiman”,
Insya Allah, tidak salah DAN
Bahkan hal yang baik.
Adapun jika ingin
menambahkan bisa saja
ditambahkan diakhir kalimat,
agar secara harfiyah aja
serasi:
”Taqabbalallahu minna wa
minkum, shiyamana wa
shiyamakum minal aidin wal
faidzin ”
Artinya, “Semoga Allah
menerima amal-amal kami
dan kamu, Dan semoga Ia
menjadikan kami dan kamu
termasuk dari orang-orang
yang kembali (dari perjuangan
Ramadhan) sebagai orang
yang menang.”
Sekedar tambahan,
bagaimana jika kita ingin
mengucapkan “mohon maaf
lahir dan batin” dalam bahasa
arab benar?
Salah satunya adalah
“ Asalukal afwan zahiran wa
bathinan”. Atau “wa al afwu
minkum”. “ dan, sekali lagi
Bukan Minal aidin wal faidzin”
Demikian, Akhir kata.
Dengan Ini saya pribadi
beserta keluarga,
Atas Nama Pena Grub
"Berproses bukan berarti
Diam" ingin mengucapkan,
”Taqabbalallahu minna wa
minkum, shiyamana wa
shiyamakum minal aidin wal
faidzin ”
“Semoga Allah menerima
amal-amal kita, Dan semoga
Allah menjadikan kita
termasuk dari orang-orang
yang kembali dari perjuangan
Ramadhan sebagai orang yang
menang. ”
semoga Cahaya Ramadhan
tahun ini bisa menerangi 11
bulan kedepan menjadikan
kita termasuk kedalam
golongan orang-orang yang
bertaqwa, Mampu Berproses
lebih baik lagi dan semoga
dipertemukan dengan Bulan
Ramadhan tahun depan.
Aamiin
wa'allahu'alam..

Kamis, 21 Oktober 2010

Di Wadi Ranuna, Rasulullah Pertama Kali Sholat Jumat

Madinah adalah
satu dari tiga kota
suci. Yang lainnya adalah
Makkah dan Palestina.
Kesucian Kota Madinah
ditegaskan oleh Rasulullah
SAW dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
"Sesungguhnya Ibrahim telah
menjadikan Kota Makkah
sebagai tempat suci dan
berdoa untuk kebaikan
penduduknya. Dan,
sesungguhnya aku menjadikan
Madinah sebagai kota suci
sebagaimana Ibrahim
menjadikan Makkah sebagai
tempat suci. Sesungguhnya
aku berdoa untuk kebaikan
sha'-nya dan mud-nya
sebagaimana yang didoakan
Ibrahim untuk kebaikan
penduduk Makkah." (HR
Muslim).
Sebelum kota ini bernama
Madinah, dahulunya dikenal
dengan nama Yatsrib. Namun,
setelah Rasul SAW hijrah ke
Madinah pada awal tahun
Hijriyah, tepatnya tahun 622
Masehi, namanya berubah
menjadi Madinah al-
Munawwarah, yakni kota yang
bercahaya. Sedikitnya, ada 95
julukan yang diberikan kepada
kota ini. Di antaranya,
Madinah ar-Rasul, Darul
Abrar, Ardhullah, Thabah,
Thayyibah, Sayyidul Buldan,
Darussalam, al-Mubarakah,
al-Qashimah, al-Fadhilah, al-
Mahrumah, Haramu
Rasulillah, dan Qalbul Iman.
Sejak dahulu, Kota Madinah
telah menjadi kota penting
ketiga setelah Makkah dan
Thaif. Philip K Hitti dalam The
History of The Arabs
manyatakan bahwa kota ini
berperan penting sebagai
pusat pemerintahan Islam.
Karena itu, di Madinah
terdapat berbagai pusat
pengembangan agama Islam,
terutama masjid. Di Madinah,
selain Masjid Nabawi, masjid
lainnya yang juga memiliki
sejarah penting dalam
penyebaran agama Islam
adalah Masjid Quba (masjid
yang pertama kali dibangun
oleh Rasul SAW) dan Masjid
Qiblatain (dua kiblat).
Namun, ada satu masjid
penting lainnya yang kerap
terlupakan. Padahal, masjid
ini memiliki sejarah yang
sangat penting dalam
penegakan syiar Islam. Itulah
Masjid Jumat. Ya, masjid ini
disebut dengan nama
demikian karena disinilah
Rasul SAW pertama kali
melaksanakan shalat Jumat
saat memasuki Kota Madinah.
Sebagaimana diketahui, ketika
Rasul SAW memutuskan untuk
berhijrah dari Makkah ke
Madinah, beliau sempat
membangun masjid. Dan,
masjid pertama yang dibangun
itu adalah Masjid Quba, yang
terletak di kampung Quba,
berjarak sekitar empat
kilometer di sebelah selatan
Masjid Nabawi.
Keutamaan Masjid Quba
diterangkan dalam Alquran.
"Sesungguhnya masjid yang
didirikan atas dasar takwa
(Masjid Quba), sejak hari
pertama, adalah lebih patut
kamu shalat di
dalamnya." (QS At-Taubah [9]:
108).
Setelah mendirikan masjid ini,
Rasul bersama dengan Abu
Bakar as-Siddiq melanjutkan
perjalanan menuju Yatsrib,
yakni Madinah sekarang.
Namun, sebelum sampai di
tempat tujuan, yakni Masjid
Nabawi, beliau singgah di
kampung Bani Sulaim. Pada
saat itu ialah hari Jumat, dan
waktunya sudah menjelang
shalat Zhuhur. Karena itu,
bersama para sahabat dan
kaum muslimin yang ada pada
saat itu, Rasul SAW mengajak
mereka untuk mendirikan
shalat Jumat.
Shalat Jumat itu dilaksanakan
Rasul SAW di sebuah Wadi
(lembah) yang terletak di
kampung Bani Sulaim.
Letaknya berdekatan dengan
Masjid Quba. Menurut Junaidi
Halim dalam bukunya
Makkah-Madinah dan
Sekitarnya, nama lembah
tersebut adalah Wadi Ranuna.
Sebagai peringatan atas
pelaksanaan shalat Jumat itu
didirikanlah sebuah masjid di
lokasi tersebut. Dan, masjid
itu diberinama Masjid Jumat.
Menurut Hanafi al-Mahlawi
dalam Al-Amakin al-
Masyhurah fi Hayati
Muhammad SAW, shalat Jumat
yang dilaksanakan di lokasi
tersebut merupakan shalat
jumat yang pertama kali.
Sebab, sebelumnya beliau
kesulitan melaksanakan
shalat Jumat karena kuatnya
tekanan dan penindasan yang
dilakukan kafir Quraisy
terhadap kaum Muslim.
Ada yang mengatakan bahwa
lokasi pelaksanaan shalat
Jumat itu terletak disisi kanan
jalan dari Quba menuju
Madinah. Adapun jumlah
kaum Muslim yang mendirikan
shalat Jumat ketika itu
mencapai seratus orang.
Menurut HM Iwan Gayo dalam
Buku Pintar Haji dan Umrah,
masjid Jumat itu berukuran 7X
5,5 meter persegi.
Karena itulah, keberadaan
Masjid Jumat ini memiliki
posisi yang sangat penting
dalam sejarah Islam.
Sayangnya, tidak diketahui
secara pasti, siapa sahabat
yang mendirikan masjid ini.
Mungkin itu karena minimnya
informasi yang didapatkan.
Karenanya, tak banyak umat
Muslim yang berziarah atau
berkunjung ke masjid ini.

Air Zamzam, Sumur yang tak Pernah Kering

Air
zamzam yang
berlimpah
merupakan mukjizat yang
tidak bisa diingkari. Sejak
masa Nabi Ibrahim AS hingga
kini, mata air tersebut tidak
pernah kering. Bagaimana
sejarah air yang penuh
keberkahan ini?
Imam Bukhori meriwayatkan:
"Nabi Ibrahim a'laihisalam
membawa istri dan putranya
Ismail yang masih menyusui ke
Makkah kemudian singgah di
bawah sebuah pohon tempat
sumur zamzam sekarang ini.
Kala itu tidak seorang pun
yang tinggal di Makkah, tidak
pula terdapat mata air.
Sebagai bekal, Nabi Ibrahim
meninggalkan wadah
berisikan kurma dan satu lagi
berisikan air. Nabi Ibrahim
beranjak pergi meninggalkan
istri dan putranya di tempat
itu. Istrinya kemudian
mengikuti seraya berkata:
"Wahai Ibrahim ke mana
engkau pergi? Apakah engkau
akan meninggalkan kami di
tempat yang tidak
berpenghuni ini dan tak ada
sesuatu pun?"
Berulang-ulang Siti Hajar
memanggil Nabi Ibrahim
dengan kata-kata tersebut.
Nabi Ibrahim tidak menoleh.
Istrinya lalu bertanya:
"Apakah Allah yang
memerintahkanmu melakukan
hal ini?" "Ya," jawab Nabi
Ibrahim. Mendengar jawaban
itu, Siti Hajar berkata, "Kalau
begitu Allah tidak akan
menyia-nyiakan kami." Ia
kemudian kembali bersama
putranya Ismail.
Nabi Ibrahim terus berjalan.
Sampai di tempat yang
bernama Tsaniah, ia
menghadap ke arah Ka'bah
(sekarang ini, dulu belum
dibangun) kemudian berdoa
seraya menengadahkan kedua
tangannya dan memanjatkan
doa.
"Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah
menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang
tidak mempunyai tanam-
tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang
dihormati. Ya Tuhan kami
(yang demikian itu) agar
mereka mendirikan
shalat." (QS: Ibrahim 37).
Siti Hajar menyusui Nabi Ismail
dan minum air yang
ditinggalkan Nabi Ibrahim. Air
itu habis, ia dan putranya
merasa sangat haus dan
dahaga. Nabi Ismail terus
menangis. Tidak tega melihat
putranya seperti itu, Siti Hajar
pergi ke bukit Sofa.
Di bukit itu ia berdiri
menghadap lembah, berharap
melihat orang di sana. Ia
kemudian turun dari bukit
Sofa. Sampai di lembah, ia
mengangkat ujung bajunya,
kemudian berlari-lari seperti
orang yang kelelahan
sehingga sampai di bukit
Marwa. Ia lalu melihat ke
arah sekelilingnya, tapi tak
seorang pun terlihat. Hal itu ia
lakukan sampai 7 kali.
Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah SAW bersabda:
"Itulah (asal mula) sa'i yang
dilakukan sekarang antara
Sofa dan Marwa. Ketika Siti
Hajar kembali ke bukit
Marwa, terdengarlah suara
tanpa rupa, Siti Hajar
berkata : "Berikanlah
pertolongan kepadaku jika
Engkau mempunyai kebaikan."
Tiba-tiba, ia melihat Malaikat
Jibril berada di tempat sumur
zamzam (sekarang ini). Dalam
Hadis Sayyidina Ali ra yang
diriwayatkan Imam Tobari
dengan Sanad Hasan:
"Malaikat Jibril
memanggilnya, siapakah
engkau?" Ia menjawab, "Aku
adalah Hajar ibu Ismail."
"Kepada siapa engkau berdua
dipasrahkan?" "Kepada
Allah." Malaikat Jibril
kemudian berkata: "Engkau
berdua telah dipasrahkan
pada Yang Maha Mencukupi."
Malaikat Jibril lalu mencari-
mencari (menggali) dengan
tumitnya dalam riwayat
dengan sayapnya sehingga
tampaklah air. Dalam riwayat
Bukhori disebutkan,
terpancarlah air. Siti Hajar
tercengang melihat pancaran
air itu, lalu membuatnya
seperti telaga.
Malaikat Jibril berkata:
"Biarkanlah sesungguhnya air
itu rowaaun (banyak dan
mengenyangkan). Siti Hajar
kemudian minum dari air itu,
susunya menjadi mengalir
banyak. Malaikat Jibril
berkata kepadanya: "Jangan
takut akan terlantar,
sesungguhnya di sinilah rumah
Allah akan dibangun oleh
anak ini dan ayahnya,
sesungguhnya Allah tidak
akan menyia-nyiakan hamba
yang dekat dengan-Nya."
Sekelompok orang-orang
Jurhum dari Bani Qohton
kemudian lewat. Mereka
datang melewati jalan
Kada' (nama tempat) lalu
singgah di lembah Makkah
bagian bawah. Mereka
melihat burung-burung
terbang berputar-putar tidak
meninggalkan tempat itu.
Mereka berkata: "Sungguh
burung-burung itu berputar-
putar di atas air, padahal kita
tahu di lembah ini sebelumnya
tidak terdapat air." Mereka
lalu mengutus seorang
melihat ke tempat tersebut.
Benar, di sana terdapat air.
Mereka lalu datang ke tempat
air itu dan melihat Siti Hajar
berada di situ. Mereka
berkata: "Apakah engkau
mengizinkan kami tinggal di
tempat ini?"
Siti Hajar menjawab: "Ya,
tetapi kalian tidak berhak atas
mata air ini (kecuali untuk
kalian minum dan kebutuhan
kalian saja). "Baiklah."
Lembah Makkah yang asalnya
tidak terdapat air tidak
berpenghuni sehingga Allah
menampakkan air zamzam.
Setelah itu, kabilah Jurhum
yang berasal dari Yaman ikut
tinggal di lembah tersebut
sehingga semakin lama
semakin bertambah ramai.
Dari segi keutamaannya,
sebagian ulama telah
mengumpulkan berbagai
fadilah dan keutamaan
zamzam. Antara lain adalah
air surga (maa'ul-jannah).
Artinya, air yang penuh
berkah dan manfaat, seperti
air surga.
Nikmat Allah, yakni salah satu
nikmat Allah bagi para
jamaah haji yang langsung
bisa merasakan nikmatnya air
di tengah-tengah padang
pasir. Penuh berkah karena
Rasulullah SAW senang
meminumnya dan tangannya
yang penuh berkah pernah
dicelupkan ke sumur zamzam.
Air ini juga mengenyangkan
serta menghilangkan dahaga.
Dapat juga digunakan sebagai
air penyembuh penyakit, baik
penyakit jiwa atau batin
maupun penyakit jasmani.
Rasulullah SAW menyebutnya,
"mengobati penyakit." Banyak
kisah dan riwayat tentang hal
ini sebagai bukti kebenaran
hadis tersebut.

jabal Uhud.._..bukit menyendiri

Jabal
Uhud, termasuk
salah satu bukit
yang sangat memiliki nilai
sejarah penting dalam sejarah
Islam. Di bukit ini, terjadi
peperangan yang sangat
memilukan dalam sejarah
Islam. Pasukan kaum Muslimin
yang dipimpin langsung Nabi
Muhammad SAW, bertempur
habis-habisan dengan kaum
musyrikin Kota Makkah.
Kisah pilu ini, digambarkan
oleh Rasul dengan menyebut
bukit ini sebagai bukit yang
nantinya akan bisa dilihat di
Surga. Jadi, umat Islam yang
kini akan melaksanakan
ibadah haji dan
menyempatkan diri untuk
berziarah ke Bukit Uhud, insya
Allah saat berada di Surga
juga akan menyaksikan
kembali bukit ini.
Kepiluan Nabi Muhammad di
Bukit Uhud, tak lepas dari
kisah pertempuran yang
terjadi di kawasan ini. Dalam
pertempuran itu, ratusan
sahabat nabi gugur. Termasuk
juga paman Rasul, Hamzah bin
Abdul Muthalib, gugur dan
dimakamkan di bukit ini.
Bahkan, Nabi Muhammad
SAW mengatakan, kaum
Muslimin yang gugur dan
dimakamkan di Uhud tak
memperoleh tempat lain
kecuali ruhnya berada pada
burung hijau yang melintasi
sungai Surgawi. Burung-
burung itu memakan makanan
dari buah-buahan yang ada di
taman surga, dan tak akan
pernah kehabisan makanan.
Di kawasan Uhud itu,
pertempuran spiritual dan
politik dalam arti sebenarnya
memang terjadi. Ketika itu,
pasukan diberi pilihan antara
kesetiaan pada agama dan
kecintaan pada harta. Melihat
lokasi dan kawasan
perbukitan yang
mengelilinginya, maka orang
bisa membayangkan
bagaimana sulitnya medan
perang ketika itu.
Perang di kawasan Uhud,
bermula dari keinginan balas
dendam kaum kafir Quraisy
seusai kekalahan mereka
dalam Perang Badar. Mereka
berencana menyerbu umat
Islam yang ada di Madinah.
Peristiwanya terjadi pada 15
Syawal 3 H, atau sekitar bulan
Maret 625.
Menghadapi rencana
penyerbuan tersebut,
Rasulullah memerintahkan
barisan pasukan Muslimin
menyongsong kaum kafir itu
di luar Kota Madinah. Strategi
pun disusun. Sebanyak 50
pasukan pemanah, oleh
Rasulullah yang memimpin
langsung pasukannya,
ditempatkan di atas Jabal
Uhud. Mereka diperintahkan
menunggu di bukit tersebut,
untuk melakukan serangan
apabila kaum Quraisy
menyerbu, terutama pasukan
berkudanya. Sedangkan
pasukan lainnya, menunggu di
celah bukit.
Maka, perang antara pasukan
kaum Muslimin yang
berjumlah 700 orang melawan
kaum musyrikin Makkah yang
berjumlah 3.000 orang,
akhirnya berkobar. Dalam
perang dahsyat itu pasukan
Muslimin sebenarnya sudah
memperoleh kemenangan
yang gemilang.
Namun, kemanangan tersebut
berbalik menjadi kisah pilu,
karena pasukan pemanah
kaum Muslimin yang tadinya
ditempatkan di Bukit Uhud,
tergiur barang-barang kaum
musyrikin yang sebelumnya
sempat melarikan diri.
Melihat kaum musyrikin
melarikan diri dan barang
bawaannya tergeletak di
lembah Uhud, pasukan
pemanah meninggalkan
posnya dengan menuruni
bukit. Padahal, sebelumnya
Nabi Muhammad SAW telah
menginstruksikan agar tidak
meninggalkan Bukit Uhud,
walau apa pun yang terjadi.
Adanya pengosongan pos oleh
pemanah tersebut digunakan
oleh panglima kaum
musyrikin, Khalid bin Walid
(sebelum masuk Islam) untuk
menggerakkan kembali
tentaranya guna menyerang
umat Islam. Khalid bin Walid
ini, sebelumnya memang
digambarkan sebagai seorang
ahli strategi yang memimpin
tentara berkuda.
Akibat serangan balik
tersebut, umat Islam
mengalami kekalahan tidak
sedikit. Sebanyak 70 orang
sahabat gugur sebagai
syuhada. Termasuk paman
Rasulullah, Hamzah bin Abdul
Muthalib. Nabi SAW sangat
bersedih atas kematian
pamannya tersebut.
Kematian paman nabi ini,
akibat ulah Hindun binti
Utbah, istri seoran kaum
musyrikin, yang mengupah
Wahsyi Alhabsyi, seorang
budak, untuk membunuh
Hamzah. Tindakan balas
dendam dilakukan Hindun,
karena ayahnya dibunuh oleh
Hamzah dalam Perang Badar.
Wahsyi dijanjikan akan
mendapat kemerdekaan bila
dapat membunuh Hamzah
dalam peperangan ini.
Dalam pertempuran itu, Nabi
Muhammad SAW juga
mengalami luka-luka yang
cukup parah. Bahkan,
sahabat-sahabatnya yang
menjadi perisai pelindung
Rasulullah, gugur dengan
tubuh dipenuhi anak panah.
Setelah perang usai dan kaum
musyrikin mengundurkan diri
kembali ke Makkah, Nabi
Muhammad SAW
memerintahkan agar para
sahabatnya yang gugur
dimakamkan di tempat
mereka roboh, sehingga ada
satu liang kubur untuk
memakamkan beberapa
syuhada. Jenazah para
syuhada Uhud ini, akhirnya
dimakamkan dekat lokasi
perang serta dishalatkan satu
per satu sebelum dikuburkan.
Adapun Sayidina Hamzah bin
Abdul Muthalib, dishalatkan
sebanyak 70 kali. Beliau pun
dimakamkan menjadi satu
dengan Abdullah bin Jahsyi
(sepupu Nabi) di lokasi
terpisah dengan lokasi para
syuhada yang lain.
Kini, jika kita datang ke lokasi
tersebut, kompleks
pemakaman itu akan terlihat
sangat sederhana, hanya
dikelilingi pagar setinggi 1,75
meter. Dari luar hanya ada
jeruji, sehingga jamaah bisa
melongok sedikit ke dalam.
Bahkan, di dalam areal
permakaman yang dikelilingi
pagar itu, tidak ada tanda-
tanda khusus seperti batu
nisan, yang menandakan ada
makam di sana.
Namun demikian, ziarah ke
Jabal Uhud telah menjadi
menu penting bagi segenap
jamaah haji/umrah, ketika
berada di Kota Suci Madinah.
Dari manapun mereka
berasal, mereka bisanya akan
berusaha berziarah ke
kompleks makam tersebut.
Seperti yang dikisahkan,
lantaran kecintaan Rasulullah
kepada para syuhada Uhud,
beliau senantiasa berziarah ke
Jabal Uhud hampir setiap
tahun. Langkah beliau
kemudian juga diikuti oleh
beberapa sahabat sesudah
Rasul wafat. Bahkan,
dikisahkan bahwa Umar dan
Abubakar, juga selalu
mengingatkan Rasul jika
perjalanannya telah
mendekati Uhud.
Bukit Uhud tersebut, bila
dilihat dari kejauhan berwarna
agak kemerahan dan terpisah
dari bukit-bukit lainnya. Jabal
ini merupakan bukit terbesar
di Madinah yang terletak
sekitar lima kilometer dari
pusat Kota Madinah.
Ketinggian buktik, sekitar
1.050 meter.
Bentuk Jabal Uhud, seperti
sekelompok gunung yang
tidak bersambungan dengan
gunung-gunung yang lain.
Sementara umumnya bukit di
Madinah, berbentuk sambung
menyambung. Karena itulah,
penduduk Madinah
menyebutnya Jabal Uhud yang
artinya 'bukit menyendiri'.