Kewajiban yang
dikenal sebagai
zakat merupakan salah satu
dari lima rukun Islam. Namun,
permasalahan zakat tidak bisa
dipisahkan dari usaha dan
penghasilan masyarakat.
Demikian juga pada zaman
Nabi Muhammad SAW.
Dalam buku 125 Masalah
Zakat karya Al-Furqon Hasbi
disebutkan bahwa awal Nabi
Muhammad SAW hijrah ke
Madinah, zakat belum
dijalankan. Pada waktu itu,
Nabi SAW, para sahabatnya,
dan segenap kaum muhajirin
(orang-orang Islam Quraisy
yang hijrah dari Makkah ke
Madinah) masih disibukkan
dengan cara menjalankan
usaha untuk menghidupi diri
dan keluarganya di tempat
baru tersebut. Selain itu, tidak
semua orang mempunyai
perekonomian yang cukup --
kecuali Utsman bin Affan --
karena semua harta benda
dan kekayaan yang mereka
miliki ditinggal di Makkah.
Kalangan anshar (orang-orang
Madinah yang menyambut dan
membantu Nabi dan para
sahabatnya yang hijrah dari
Makkah) memang telah
menyambut dengan bantuan
dan keramah-tamahan yang
luar biasa. Meskipun
demikian, mereka tidak mau
membebani orang lain. Itulah
sebabnya mereka bekerja
keras demi kehidupan yang
baik. Mereka beranggapan
pula bahwa tangan di atas
lebih utama daripada tangan
di bawah.
Keahlian orang-orang
muhajirin adalah berdagang.
Pada suatu hari, Sa'ad bin Ar-
Rabi' menawarkan hartanya
kepada Abdurrahman bin Auf,
tetapi Abdurrahman
menolaknya. Ia hanya minta
ditunjukkan jalan ke pasar. Di
sanalah ia mulai berdagang
mentega dan keju. Dalam
waktu tidak lama, berkat
kecakapannya berdagang, ia
menjadi kaya kembali.
Bahkan, sudah mempunyai
kafilah-kafilah yang pergi dan
pulang membawa
dagangannya.
Selain Abdurrahman, orang-
orang muhajirin lainnya
banyak juga yang melakukan
hal serupa. Kelihaian orang-
orang Makkah dalam
berdagang ini membuat
orang-orang di luar Makkah
berkata, ''Dengan
perdagangan itu, ia dapat
mengubah pasir sahara
menjadi emas.''
Perhatian orang-orang
Makkah pada perdagangan ini
diungkapkan dalam Alqur'an
pada ayat-ayat yang
mengandung kata-kata
tijarah: ''Orang yang tidak
dilalaikan oleh perdagangan
dan jual beli dari mengingat
Allah, melaksanakan shalat,
dan menunaikan zakat.
Mereka takut kepada hari
ketika hati dan penglihatan
menjadi guncang (hari
kiamat). (QS An-Nur:37)
Tidak semua orang muhajirin
mencari nafkah dengan
berdagang. Sebagian dari
mereka ada yang menggarap
tanah milik orang-orang
anshar. Tidak sedikit pula
yang mengalami kesulitan dan
kesukaran dalam hidupnya.
Akan tetapi, mereka tetap
berusaha mencari nafkah
sendiri karena tidak ingin
menjadi beban orang lain.
Misalnya, Abu Hurairah.
Kemudian Rasulullah SAW
menyediakan bagi mereka
yang kesulitan hidupnya
sebuah shuffa (bagian masjid
yang beratap) sebagai tempat
tinggal mereka. Oleh karena
itu, mereka disebut Ahlush
Shuffa (penghuni shuffa).
Belanja (gaji) para Ahlush
Shuffa ini berasal dari harta
kaum Muslimin, baik dari
kalangan muhajirin maupun
anshar yang berkecukupan.
Setelah keadaan
perekonomian kaum Muslimin
mulai mapan dan pelaksanaan
tugas-tugas agama dijalankan
secara berkesinambungan,
pelaksanaan zakat sesuai
dengan hukumnya pun mulai
dijalankan. Di Yatsrib
(Madinah) inilah Islam mulai
menemukan kekuatannya.
Disyariatkan
Ayat-ayat Alqur'an yang
mengingatkan orang mukmin
agar mengeluarkan sebagian
harta kekayaannya untuk
orang-orang miskin
diwahyukan kepada Rasulullah
SAW ketika beliau masih
tinggal di Makkah. Perintah
tersebut pada awalnya masih
sekedar sebagai anjuran,
sebagaimana wahyu Allah
SWT dalam surat Ar-Rum ayat
39: ''Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk
mencapai keridaan Allah,
maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang
melipatgandakan
(pahalanya)''.
Namun menurut pendapat
mayoritas ulama, zakat mulai
disyariatkan pada tahun ke-2
Hijriah. Di tahun tersebut
zakat fitrah diwajibkan pada
bulan Ramadhan, sedangkan
zakat mal diwajibkan pada
bulan berikutnya, Syawal. Jadi,
mula-mula diwajibkan zakat
fitrah kemudian zakat mal
atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-
Mu'minun ayat 4: ''Dan orang
yang menunaikan zakat''.
Kebanyakan ahli tafsir
berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan zakat dalam
ayat di atas adalah zakat mal
atau kekayaan meskipun ayat
itu turun di Makkah. Padahal,
zakat itu sendiri diwajibkan di
Madinah pada tahun ke-2
Hijriah. Fakta ini menunjukkan
bahwa kewajiban zakat
pertama kali diturunkan saat
Nabi SAW menetap di
Makkah, sedangkan ketentuan
nisabnya mulai ditetapkan
setelah Beliau hijrah ke
Madinah.
Setelah hijrah ke Madinah,
Nabi SAW menerima wahyu
berikut ini, ''Dan dirikanlah
shalat serta tunaikanlah
zakat. Dan apa-apa yang
kamu usahakan dari kebaikan
bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahalanya di sisi
Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa-apa yang
kamu kerjakan'' (QS Al-
Baqarah: 110). Berbeda
dengan ayat sebelumnya,
kewajiban zakat dalam ayat
ini diungkapkan sebagai
sebuah perintah, dan bukan
sekedar anjuran.
Mengenai kewajiban zakat ini
ilmuwan Muslim ternama,
Ibnu Katsir, mengungkapkan,
''Zakat ditetapkan di Madinah
pada abad kedua hijriyah.
Tampaknya, zakat yang
ditetapkan di Madinah
merupakan zakat dengan nilai
dan jumlah kewajiban yang
khusus, sedangkan zakat yang
ada sebelum periode ini, yang
dibicarakan di Makkah,
merupakan kewajiban
perseorangan semata''.
Sayid Sabiq menerangkan
bahwa zakat pada permulaan
Islam diwajibkan secara
mutlak. Kewajiban zakat ini
tidak dibatasi harta yang
diwajibkan untuk dizakati dan
ketentuan kadar zakatnya.
Semua itu diserahkan pada
kesadaran dan kemurahan
kaum Muslimin. Akan tetapi,
mulai tahun kedua setelah
hijrah -- menurut keterangan
yang masyhur -- ditetapkan
besar dan jumlah setiap jenis
harta serta dijelaskan secara
teperinci.
Menjelang tahun ke-2 Hijriah,
Rasulullah SAW telah
memberi batasan mengenai
aturan-aturan dasar, bentuk-
bentuk harta yang wajib
dizakati, siapa yang harus
membayar zakat, dan siapa
yang berhak menerima zakat.
Dan, sejak saat itu zakat telah
berkembang dari sebuah
praktik sukarela menjadi
kewajiban sosial keagamaan
yang dilembagakan yang
diharapkan dipenuhi oleh
setiap Muslim yang hartanya
telah mencapai nisab, jumlah
minimum kekayaan yang wajib
dizakati.
Kamis, 23 Desember 2010
Rabu, 08 Desember 2010
Inilah Rute Hijrah Nabi Muhammad SAW Dahulu
Ketika
berbagai cobaan
dan ujian silih
berganti dialami umat Islam,
Rasulullah SAW
memerintahkan kaum
Muslimin untuk segera
berhijrah ke Yatsrib. Perihal
tempat untuk hijrah ini, Allah
SWT telah memberitahukan
Rasulullah.
Dalam buku berjudul
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
Martin Lings mengungkapkan,
Nabi SAW sudah mengetahui
bahwa Yastrib adalah lahan
subur di antara dua jalur batu-
batu hitam yang beliau lihat
dalam mimpinya. Beliau juga
tahu bahwa tibalah waktunya
untuk hijrah.
Sementara itu, Dr Ahzami
Samiun Jazuli dalam bukunya
mengenai Hijrah dalam
Pandangan Al-Quran
menuliskan, Imam Muslim
mengatakan bahwa Nabi SAW
bersabda, “Aku melihat dalam
tidur bahwa aku berhijrah dari
Makkah menuju suatu tempat
yang banyak terdapat pohon
kurma. Aku mencoba
menebak apakah itu
Yamamah atau Hajar? Namun,
ternyata, itulah Kota
Yatsrib. ” (Shahih Muslim:
2272).
Rasul pun memerintahkan
para sahabatnya untuk segera
berhijrah, baik secara sendiri-
sendiri maupun berkelompok.
Adapun Rasul SAW,
rencananya akan menyusul
setelah semua umat Islam
berhijrah ke Madinah. Sebab,
Rasul mengetahui, yang
dimusuhi oleh kaum kafir
Quraisy adalah diri beliau, dan
bukan kaum Muslimin.
Kaum Quraisy pun
menyiapkan strategi untuk
melakukan penangkapan
terhadap Rasul SAW. Namun,
rencana kaum Quraisy ini
diketahui oleh Nabi SAW. Saat
itu, Rasulullah sendiri
memang masih tinggal di
Makkah dan kaum Muslim
sudah tidak ada lagi yang
tinggal, kecuali sebagian
kecil. Sambil menunggu
perintah Allah SWT untuk
berhijrah, Nabi SAW menemui
Abu Bakar dan
memberitahukannya untuk
bersiap hijrah ke Madinah.
“Dan, katakanlah, Ya
Tuhanku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku
secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang
menolong.”(Al-Isra [17]: 80).
Di sinilah, sebagaimana
dipaparkan Muhammad
Husain Haekal dalam bukunya
Hayatu Muhammad (Sejarah
Hidup Muhammad),
dimulainya kisah yang paling
cemerlang dan indah yang
pernah dikenal manusia dalam
sejarah pengejaran yang
penuh bahaya demi
kebenaran, keyakinan, dan
keimanan.
Untuk mengelabui kaum
Quraisy, Rasulullah
memutuskan akan menempuh
jalan lain (rute yang berbeda)
dari jalur yang biasa
digunakan penduduk Makkah
untuk menuju Madinah.
Rasulullah SAW memutuskan
akan berangkat bukan pada
waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah
menyiapkan dua ekor unta
sebagai kendaraan yang akan
dipergunakan Nabi SAW pada
saat berhijrah. Hijrah ini
dilakukan semata-mata untuk
menyelamatkan dakwah dan
akidah Islam serta kaum
Muslimin.
Rute yang ditempuh Rasul itu
adalah setelah keluar dari
rumah beliau, jalan yang
ditempuh adalah Gua Tsur,
berjarak sekitar 6-7 kilometer
di selatan Makkah. Sedangkan
Madinah berada di sebelah
utara Makkah. Langkah ini
diambil untuk mengelabui
kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini,
Rasulullah dan Abu Bakar
tinggal selama kurang lebih
tiga hari.
Selanjutnya, beliau mengambil
jalur ke arah barat menuju
Hudaibiyah, arah sebelah
timur desa Sarat. Kemudian,
menuju arah Madinah dan
berhenti di sebuah kawasan di
al-Jumum dekat wilayah
Usfan. Lalu, bergerak ke arah
barat dan memutar ke
perkampungan Ummul Ma'bad
dan berhenti di wilayah Al-
Juhfah.
Selanjutnya, beliau menuju
Thanniyat al-Murrah, Mulijah
Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi
Katsir, hingga tiba di Dzu
Salam. Di sini, beliau memutar
ke arah barat sebelum
meneruskan ke arah Madinah
dan berhenti di daerah Quba.
Di sinilah beliau mendirikan
Masjid Quba, yaitu Masjid
pertama yang didirikan Rasul
SAW.
Setelah dari Quba, atau
sekitar satu kilometer dari
Quba, beliau bersama umat
Islam lainnya, melaksanakan
shalat Jumat. Untuk
memperingati peristiwa itu,
dibangunlah masjid di lokasi
ini dengan nama Masjid Jumat.
Setelah itu, barulah Rasul
SAW menuju Madinah.
berbagai cobaan
dan ujian silih
berganti dialami umat Islam,
Rasulullah SAW
memerintahkan kaum
Muslimin untuk segera
berhijrah ke Yatsrib. Perihal
tempat untuk hijrah ini, Allah
SWT telah memberitahukan
Rasulullah.
Dalam buku berjudul
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
Martin Lings mengungkapkan,
Nabi SAW sudah mengetahui
bahwa Yastrib adalah lahan
subur di antara dua jalur batu-
batu hitam yang beliau lihat
dalam mimpinya. Beliau juga
tahu bahwa tibalah waktunya
untuk hijrah.
Sementara itu, Dr Ahzami
Samiun Jazuli dalam bukunya
mengenai Hijrah dalam
Pandangan Al-Quran
menuliskan, Imam Muslim
mengatakan bahwa Nabi SAW
bersabda, “Aku melihat dalam
tidur bahwa aku berhijrah dari
Makkah menuju suatu tempat
yang banyak terdapat pohon
kurma. Aku mencoba
menebak apakah itu
Yamamah atau Hajar? Namun,
ternyata, itulah Kota
Yatsrib. ” (Shahih Muslim:
2272).
Rasul pun memerintahkan
para sahabatnya untuk segera
berhijrah, baik secara sendiri-
sendiri maupun berkelompok.
Adapun Rasul SAW,
rencananya akan menyusul
setelah semua umat Islam
berhijrah ke Madinah. Sebab,
Rasul mengetahui, yang
dimusuhi oleh kaum kafir
Quraisy adalah diri beliau, dan
bukan kaum Muslimin.
Kaum Quraisy pun
menyiapkan strategi untuk
melakukan penangkapan
terhadap Rasul SAW. Namun,
rencana kaum Quraisy ini
diketahui oleh Nabi SAW. Saat
itu, Rasulullah sendiri
memang masih tinggal di
Makkah dan kaum Muslim
sudah tidak ada lagi yang
tinggal, kecuali sebagian
kecil. Sambil menunggu
perintah Allah SWT untuk
berhijrah, Nabi SAW menemui
Abu Bakar dan
memberitahukannya untuk
bersiap hijrah ke Madinah.
“Dan, katakanlah, Ya
Tuhanku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan
keluarkanlah (pula) aku
secara keluar yang benar dan
berikanlah kepadaku dari sisi
Engkau kekuasaan yang
menolong.”(Al-Isra [17]: 80).
Di sinilah, sebagaimana
dipaparkan Muhammad
Husain Haekal dalam bukunya
Hayatu Muhammad (Sejarah
Hidup Muhammad),
dimulainya kisah yang paling
cemerlang dan indah yang
pernah dikenal manusia dalam
sejarah pengejaran yang
penuh bahaya demi
kebenaran, keyakinan, dan
keimanan.
Untuk mengelabui kaum
Quraisy, Rasulullah
memutuskan akan menempuh
jalan lain (rute yang berbeda)
dari jalur yang biasa
digunakan penduduk Makkah
untuk menuju Madinah.
Rasulullah SAW memutuskan
akan berangkat bukan pada
waktu yang biasa.
Padahal, Abu Bakar sudah
menyiapkan dua ekor unta
sebagai kendaraan yang akan
dipergunakan Nabi SAW pada
saat berhijrah. Hijrah ini
dilakukan semata-mata untuk
menyelamatkan dakwah dan
akidah Islam serta kaum
Muslimin.
Rute yang ditempuh Rasul itu
adalah setelah keluar dari
rumah beliau, jalan yang
ditempuh adalah Gua Tsur,
berjarak sekitar 6-7 kilometer
di selatan Makkah. Sedangkan
Madinah berada di sebelah
utara Makkah. Langkah ini
diambil untuk mengelabui
kafir Quraisy. Di Gua Tsur ini,
Rasulullah dan Abu Bakar
tinggal selama kurang lebih
tiga hari.
Selanjutnya, beliau mengambil
jalur ke arah barat menuju
Hudaibiyah, arah sebelah
timur desa Sarat. Kemudian,
menuju arah Madinah dan
berhenti di sebuah kawasan di
al-Jumum dekat wilayah
Usfan. Lalu, bergerak ke arah
barat dan memutar ke
perkampungan Ummul Ma'bad
dan berhenti di wilayah Al-
Juhfah.
Selanjutnya, beliau menuju
Thanniyat al-Murrah, Mulijah
Laqaf, Muwijaj Hujaj, Bath Dzi
Katsir, hingga tiba di Dzu
Salam. Di sini, beliau memutar
ke arah barat sebelum
meneruskan ke arah Madinah
dan berhenti di daerah Quba.
Di sinilah beliau mendirikan
Masjid Quba, yaitu Masjid
pertama yang didirikan Rasul
SAW.
Setelah dari Quba, atau
sekitar satu kilometer dari
Quba, beliau bersama umat
Islam lainnya, melaksanakan
shalat Jumat. Untuk
memperingati peristiwa itu,
dibangunlah masjid di lokasi
ini dengan nama Masjid Jumat.
Setelah itu, barulah Rasul
SAW menuju Madinah.
Berbagai Peristiwa Seputar Hijrah Rasulullah SAW
Dalam
upaya
menyelamatkan
dakwah Islam dari gangguan
kafir Quraisy, Rasulullah SAW
bersegera hijrah dari Makkah
ke Yatsrib (Madinah), dari
Daarul Harbi menuju Daarul
Islam. Saat hijrah
berlangsung, banyak peristiwa
dan kejadian penting yang
patut menjadi teladan umat
Islam. Beberapa peristiwa
penting tersebut sebagai
berikut.
Ali di tempat tidur Nabi SAW
Muhammad Husain Haekal
dalam Sejarah Hidup
Muhammad menuturkan,
pemuda-pemuda yang sudah
disiapkan kaum Quraisy untuk
membunuh Rasulullah pada
malam itu sudah mengepung
rumah Nabi SAW. Pada saat
bersamaan, Rasulullah
menyuruh Ali bin Abi Thalib
untuk memakai mantelnya
yang berwarna hijau dan tidur
di kasur Rasulullah SAW. Nabi
SAW meminta Ali supaya ia
tinggal dulu di Makkah untuk
menyelesaikan berbagai
keperluan dan amanah umat,
sebelum melaksanakan hijrah.
Sementara itu, para pemuda
yang sudah disiapkan Quraisy,
dari sebuah celah, mengintip
ke tempat tidur Nabi SAW.
Mereka melihat ada sesosok
tubuh di tempat tidur itu dan
mereka pun puas bahwa
orang yang mereka incar
belum lari.
Menurut Martin Lings dalam
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
para pemuda Quraisy yang
dipilih untuk membunuh Nabi
SAW itu telah sepakat untuk
bertemu di luar gerbang
rumah Nabi SAW saat malam
tiba.
Menjelang larut malam,
Rasulullah keluar rumah
menuju kediaman Abu Bakar
setelah beliau membacakan
surah yang diberi nama
dengan kalimat pembukanya,
Yasiin. Ketika sampai pada
kalimat, “Dan, Kami adakan di
hadapan mereka dinding dan
di belakang mereka dinding
pula dan Kami tutup (mata)
mereka sehingga mereka
tidak dapat melihat. ” (QS
Yasin [36]: 9).
Lalu, Nabi SAW dan Abu
Bakar keluar melalui jendela
pintu belakang dan terus
bertolak ke arah selatan, ke
arah Yaman, menuju Gua
Tsur. Hal itu dilakukan untuk
mengelabui para pemuda
Quraisy tersebut. Mereka
menutup semua jalur menuju
Madinah. Para pemuda ini
berencana akan menyergap
Nabi SAW saat itu.
Dan, ketika memasuki rumah
Nabi SAW, mereka kaget
karena Rasulullah sudah tidak
ada. Mereka hanya
menemukan Ali sedang tidur
di kasur Rasul SAW. Kafir
Quraisy merasa kecolongan
karena tak menemukan Nabi
Muhammad SAW.
Gua Tsur
Tiada seorang pun yang
mengetahui tempat
persembunyian Nabi SAW dan
Abu Bakar, selain Abdullah
bin Abu Bakar, Aisyah, dan
Asma' serta pembantu
mereka, Amir bin Fuhaira.
Abdullah diperintahkan untuk
mengawasi gerak-gerik
Quraisy pada siang hari dan
memberitahukan keadaan di
sekitar gua pada malam hari.
Amir bin Fuhaira bertugas
menyiapkan kendaraan untuk
Nabi SAW dan Abu Bakar,
sedangkan Asma bertugas
mengantarkan makanan ke
gua.
Sementara itu, pihak Quraisy
terus berusaha mencari
keberadaan Rasulullah tanpa
mengenal lelah. Selain
mencari ke tempat lain,
sebagian di antara mereka
ada yang mendatangi Gua
Tsur. Tidak jauh dari Gua Tsur
itu, mereka bertemu seorang
gembala (menurut sebagian
riwayat, penggembala itu
adalah Amir bin Fuhaira),
yang lalu ditanya. “Mungkin
saja mereka dalam gua itu,
tapi saya tidak melihat ada
orang yang ke sana. ”
Lalu, orang-orang Quraisy
datang menaiki gua itu. Tapi,
kemudian, ada yang turun
lagi. “Mengapa kau tidak
menjenguk ke dalam gua?”
tanya kawan-kawannya. “Ada
sarang laba-laba di tempat itu
yang memang sudah ada
sebelum Muhammad lahir, ”
jawabnya. “Saya melihat ada
dua ekor burung dara hutan di
lubang gua itu. Jadi, saya
mengetahui tak ada orang di
sana, ” seru yang lainnya.
Sementara itu, Abu Bakar
merasa khawatir jika
keberadaan mereka akan
diketahui pihak Quraisy.
Rasulullah mengatakan,
“ Jangan takut, Allah bersama
kita.” (QS Al-Anfal [9]: 40).
Mukjizat gua
Di depan mulut Gua Tsur,
terdapat sarang laba-laba,
sarang burung dara, dan
cabang pohon akasia yang
menjuntai ke arah gua. Pohon
akasia ini digambarkan oleh
Martin Lings memiliki
ketinggian kira-kira setengah
tinggi manusia. Kemudian,
mereka pun pergi
meninggalkan gua.
Masih menurut Lings, di celah
antara pohon dan dinding gua
terdapat seekor laba-laba
yang telah membuat
sarangnya. Kemudian, di
lubang gua-tempat seseorang
mungkin akan melangkah jika
ingin memasuki gua-ada
seekor burung dara telah
bersarang dan sedang duduk
seakan-akan mengerami telur-
telurnya. Sementara itu,
pasangannya yang jantan
sedang menjaga si betina
mengerami telur-telurnya di
dekat pohon yang mengarah
ke gua.
Sarang laba-laba, dua ekor
burung dara, dan pohon
akasia inilah mukjizat yang
diceritakan oleh buku-buku
sejarah hidup Nabi SAW
mengenai masalah
persembunyian dalam Gua
Tsur itu. Melihat kondisi ini,
orang-orang Quraisy ini
berpindah dan mencari Nabi
SAW ke tempat lain.
Sehubungan dengan mukjizat
ini, penulis Prancis Emile
Dermenghem dalam karyanya
yang bertajuk La Vie de
Mahomet mengatakan, “Tiga
peristiwa itu sajalah mukjizat
yang diceritakan oleh sejarah
Islam yang benar-benar:
sarang laba-laba, hinggapnya
burung dara, dan tumbuhnya
pohon-pohonan. Ketiga
keajaiban ini setiap hari
persamaannya selalu ada di
muka bumi. ”
Kisah Suraqah
Adapun peristiwa lainnya yang
juga memberi arti penting
dalam hijrah Rasulullah SAW,
yakni pengejaran yang
dilakukan oleh Suraqah bin
Malik bin Ja'syam. Ia
bermaksud menangkap
Rasulullah SAW dan Abu
Bakar, lalu menyerahkannya
kepada Quraisy karena tergiur
dengan iming-iming yang
diberikan bila dapat
menangkap Rasul SAW.
Namun, belum sempat
mendekati Rasul, kudanya
terperosok dan ia pun
terjungkal. Hal itu berulang-
ulang terjadi hingga akhirnya
ia memohon maaf dan
mengaku terus terang
perbuatannya untuk
menangkap Rasulullah SAW
karena tergoda oleh imbalan
besar yang dijanjikan orang-
orang kafir Quraisy. Rasul
kemudian memaafkannya.
upaya
menyelamatkan
dakwah Islam dari gangguan
kafir Quraisy, Rasulullah SAW
bersegera hijrah dari Makkah
ke Yatsrib (Madinah), dari
Daarul Harbi menuju Daarul
Islam. Saat hijrah
berlangsung, banyak peristiwa
dan kejadian penting yang
patut menjadi teladan umat
Islam. Beberapa peristiwa
penting tersebut sebagai
berikut.
Ali di tempat tidur Nabi SAW
Muhammad Husain Haekal
dalam Sejarah Hidup
Muhammad menuturkan,
pemuda-pemuda yang sudah
disiapkan kaum Quraisy untuk
membunuh Rasulullah pada
malam itu sudah mengepung
rumah Nabi SAW. Pada saat
bersamaan, Rasulullah
menyuruh Ali bin Abi Thalib
untuk memakai mantelnya
yang berwarna hijau dan tidur
di kasur Rasulullah SAW. Nabi
SAW meminta Ali supaya ia
tinggal dulu di Makkah untuk
menyelesaikan berbagai
keperluan dan amanah umat,
sebelum melaksanakan hijrah.
Sementara itu, para pemuda
yang sudah disiapkan Quraisy,
dari sebuah celah, mengintip
ke tempat tidur Nabi SAW.
Mereka melihat ada sesosok
tubuh di tempat tidur itu dan
mereka pun puas bahwa
orang yang mereka incar
belum lari.
Menurut Martin Lings dalam
Muhammad: Kisah Hidup Nabi
Berdasarkan Sumber Klasik,
para pemuda Quraisy yang
dipilih untuk membunuh Nabi
SAW itu telah sepakat untuk
bertemu di luar gerbang
rumah Nabi SAW saat malam
tiba.
Menjelang larut malam,
Rasulullah keluar rumah
menuju kediaman Abu Bakar
setelah beliau membacakan
surah yang diberi nama
dengan kalimat pembukanya,
Yasiin. Ketika sampai pada
kalimat, “Dan, Kami adakan di
hadapan mereka dinding dan
di belakang mereka dinding
pula dan Kami tutup (mata)
mereka sehingga mereka
tidak dapat melihat. ” (QS
Yasin [36]: 9).
Lalu, Nabi SAW dan Abu
Bakar keluar melalui jendela
pintu belakang dan terus
bertolak ke arah selatan, ke
arah Yaman, menuju Gua
Tsur. Hal itu dilakukan untuk
mengelabui para pemuda
Quraisy tersebut. Mereka
menutup semua jalur menuju
Madinah. Para pemuda ini
berencana akan menyergap
Nabi SAW saat itu.
Dan, ketika memasuki rumah
Nabi SAW, mereka kaget
karena Rasulullah sudah tidak
ada. Mereka hanya
menemukan Ali sedang tidur
di kasur Rasul SAW. Kafir
Quraisy merasa kecolongan
karena tak menemukan Nabi
Muhammad SAW.
Gua Tsur
Tiada seorang pun yang
mengetahui tempat
persembunyian Nabi SAW dan
Abu Bakar, selain Abdullah
bin Abu Bakar, Aisyah, dan
Asma' serta pembantu
mereka, Amir bin Fuhaira.
Abdullah diperintahkan untuk
mengawasi gerak-gerik
Quraisy pada siang hari dan
memberitahukan keadaan di
sekitar gua pada malam hari.
Amir bin Fuhaira bertugas
menyiapkan kendaraan untuk
Nabi SAW dan Abu Bakar,
sedangkan Asma bertugas
mengantarkan makanan ke
gua.
Sementara itu, pihak Quraisy
terus berusaha mencari
keberadaan Rasulullah tanpa
mengenal lelah. Selain
mencari ke tempat lain,
sebagian di antara mereka
ada yang mendatangi Gua
Tsur. Tidak jauh dari Gua Tsur
itu, mereka bertemu seorang
gembala (menurut sebagian
riwayat, penggembala itu
adalah Amir bin Fuhaira),
yang lalu ditanya. “Mungkin
saja mereka dalam gua itu,
tapi saya tidak melihat ada
orang yang ke sana. ”
Lalu, orang-orang Quraisy
datang menaiki gua itu. Tapi,
kemudian, ada yang turun
lagi. “Mengapa kau tidak
menjenguk ke dalam gua?”
tanya kawan-kawannya. “Ada
sarang laba-laba di tempat itu
yang memang sudah ada
sebelum Muhammad lahir, ”
jawabnya. “Saya melihat ada
dua ekor burung dara hutan di
lubang gua itu. Jadi, saya
mengetahui tak ada orang di
sana, ” seru yang lainnya.
Sementara itu, Abu Bakar
merasa khawatir jika
keberadaan mereka akan
diketahui pihak Quraisy.
Rasulullah mengatakan,
“ Jangan takut, Allah bersama
kita.” (QS Al-Anfal [9]: 40).
Mukjizat gua
Di depan mulut Gua Tsur,
terdapat sarang laba-laba,
sarang burung dara, dan
cabang pohon akasia yang
menjuntai ke arah gua. Pohon
akasia ini digambarkan oleh
Martin Lings memiliki
ketinggian kira-kira setengah
tinggi manusia. Kemudian,
mereka pun pergi
meninggalkan gua.
Masih menurut Lings, di celah
antara pohon dan dinding gua
terdapat seekor laba-laba
yang telah membuat
sarangnya. Kemudian, di
lubang gua-tempat seseorang
mungkin akan melangkah jika
ingin memasuki gua-ada
seekor burung dara telah
bersarang dan sedang duduk
seakan-akan mengerami telur-
telurnya. Sementara itu,
pasangannya yang jantan
sedang menjaga si betina
mengerami telur-telurnya di
dekat pohon yang mengarah
ke gua.
Sarang laba-laba, dua ekor
burung dara, dan pohon
akasia inilah mukjizat yang
diceritakan oleh buku-buku
sejarah hidup Nabi SAW
mengenai masalah
persembunyian dalam Gua
Tsur itu. Melihat kondisi ini,
orang-orang Quraisy ini
berpindah dan mencari Nabi
SAW ke tempat lain.
Sehubungan dengan mukjizat
ini, penulis Prancis Emile
Dermenghem dalam karyanya
yang bertajuk La Vie de
Mahomet mengatakan, “Tiga
peristiwa itu sajalah mukjizat
yang diceritakan oleh sejarah
Islam yang benar-benar:
sarang laba-laba, hinggapnya
burung dara, dan tumbuhnya
pohon-pohonan. Ketiga
keajaiban ini setiap hari
persamaannya selalu ada di
muka bumi. ”
Kisah Suraqah
Adapun peristiwa lainnya yang
juga memberi arti penting
dalam hijrah Rasulullah SAW,
yakni pengejaran yang
dilakukan oleh Suraqah bin
Malik bin Ja'syam. Ia
bermaksud menangkap
Rasulullah SAW dan Abu
Bakar, lalu menyerahkannya
kepada Quraisy karena tergiur
dengan iming-iming yang
diberikan bila dapat
menangkap Rasul SAW.
Namun, belum sempat
mendekati Rasul, kudanya
terperosok dan ia pun
terjungkal. Hal itu berulang-
ulang terjadi hingga akhirnya
ia memohon maaf dan
mengaku terus terang
perbuatannya untuk
menangkap Rasulullah SAW
karena tergoda oleh imbalan
besar yang dijanjikan orang-
orang kafir Quraisy. Rasul
kemudian memaafkannya.
Minggu, 05 Desember 2010
Hijrah
Ketika Rasulullah melakukan
hijrah ke Madinah, masih ada
sejumlah sahabat yang tetap
bertahan di Makkah. Mereka
tak mau meninggalkan
Makkah dengan berbagai
alasan. Namun, selama
bertahan di Makkah,
umumnya mereka merasa
tertindas sehingga diliputi rasa
duka.
Alquran melukiskan mereka
sebagai orang-orang yang
menganiaya diri sendiri.
Ketika mereka wafat dalam
kondisi luka karena teraniaya,
Malaikat pun bertanya,
“Bagaimana keadaan kalian
menjadi seperti ini?'' “Kami
adalah orang-orang yang
tertindas di negeri Makkah,”
jawab mereka. Alquran
kemudian merekam
peringatan Malaikat
berikutnya, “Bukankah bumi
Allah itu luas, maka
berhijrahlah di bumi itu?” (QS
Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut
di atas termasuk kategori ayat
Madaniyah. Pesan Alquran ini
turun kira-kira setelah
tatanan masyarakat Madinah
tertata rapi, tumbuh penuh
harmoni dalam nuansa
multikultural sebagai wujud
perpaduan kebudayaan antara
Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah
seakan-akan tengah
mengamini tindakan
Rasulullah dalam berhijrah,
meskipun sempat beberapa
kali gagal. Hijrah memang
tidak sederhana. Ia tidak
hanya melibatkan tindakan
fisik, tetapi juga
menggambarkan kekuatan
psikologis yang mendasari
ketulusan berikhtiar untuk
mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan
semata-mata untuk
memperoleh kesenangan
duniawi ataupun
kesejahteraan material,
melainkan juga kesempurnaan
pengabdian untuk
mewujudkan tatanan sosial,
politik, ekonomi, dan
kebudayaan yang lebih
mampu menjamin tegaknya
hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah
menjadi solusi manusiawi
sebagai wujud pengakuan atas
segala keterbatasan manusia
dalam memperoleh semua
haknya sekaligus pernyataan
sikap teologis untuk
membuktikan segala
Kemahamurahan Allah bagi
manusia. Bahkan, Allah
sendiri menegur dengan tegas
orang-orang yang
memaksakan kehendaknya
untuk tetap bertahan dalam
ketidakberdayaan,
memaksakan bertahan dalam
ketidaknyamanan ataupun
ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang
tengah diliputi berbagai duka
saat ini, kita tidak bisa tetap
“ menikmati” penderitaan
hanya karena alasan sabar
dan tawakal. Kita juga tidak
bisa terus-menerus
membiarkan ketidakadilan
melilit kehidupan. Saatnya
kita berhijrah untuk
melakukan perubahan
sekaligus mengingatkan siapa
pun yang dipandang menjadi
sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta
semua pihak tulus mengakui
kekhilafan, mencairkan
egoisme politik yang hanya
akan menyengsarakan
kehidupan, dan membangun
komitmen kebangsaan yang
lebih jujur serta demokratis
dengan melepaskan
kepentingan pribadi ataupun
golongan.
Alquran mengingatkan, Allah
membenci orang-orang yang
membiarkan diri bertahan di
tengah kesemrawutan sosial,
politik, dan ekonomi. “Kecuali
mereka, baik laki-laki,
perempuan, maunpun anak-
anak, yang tertindas karena
tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan
untuk berhijrah. ” (QS Annisa
[4]: 98)
hijrah ke Madinah, masih ada
sejumlah sahabat yang tetap
bertahan di Makkah. Mereka
tak mau meninggalkan
Makkah dengan berbagai
alasan. Namun, selama
bertahan di Makkah,
umumnya mereka merasa
tertindas sehingga diliputi rasa
duka.
Alquran melukiskan mereka
sebagai orang-orang yang
menganiaya diri sendiri.
Ketika mereka wafat dalam
kondisi luka karena teraniaya,
Malaikat pun bertanya,
“Bagaimana keadaan kalian
menjadi seperti ini?'' “Kami
adalah orang-orang yang
tertindas di negeri Makkah,”
jawab mereka. Alquran
kemudian merekam
peringatan Malaikat
berikutnya, “Bukankah bumi
Allah itu luas, maka
berhijrahlah di bumi itu?” (QS
Annisa [4]: 97).
Secara historis, ayat tersebut
di atas termasuk kategori ayat
Madaniyah. Pesan Alquran ini
turun kira-kira setelah
tatanan masyarakat Madinah
tertata rapi, tumbuh penuh
harmoni dalam nuansa
multikultural sebagai wujud
perpaduan kebudayaan antara
Anshar dan Muhajirin.
Melalui firman-Nya ini, Allah
seakan-akan tengah
mengamini tindakan
Rasulullah dalam berhijrah,
meskipun sempat beberapa
kali gagal. Hijrah memang
tidak sederhana. Ia tidak
hanya melibatkan tindakan
fisik, tetapi juga
menggambarkan kekuatan
psikologis yang mendasari
ketulusan berikhtiar untuk
mewujudkan kehendak Allah.
Hijrah dilakukan bukan
semata-mata untuk
memperoleh kesenangan
duniawi ataupun
kesejahteraan material,
melainkan juga kesempurnaan
pengabdian untuk
mewujudkan tatanan sosial,
politik, ekonomi, dan
kebudayaan yang lebih
mampu menjamin tegaknya
hak-hak individu.
Oleh karena itu, hijrah
menjadi solusi manusiawi
sebagai wujud pengakuan atas
segala keterbatasan manusia
dalam memperoleh semua
haknya sekaligus pernyataan
sikap teologis untuk
membuktikan segala
Kemahamurahan Allah bagi
manusia. Bahkan, Allah
sendiri menegur dengan tegas
orang-orang yang
memaksakan kehendaknya
untuk tetap bertahan dalam
ketidakberdayaan,
memaksakan bertahan dalam
ketidaknyamanan ataupun
ketidaksejahteraan.
Dalam situasi Indonesia yang
tengah diliputi berbagai duka
saat ini, kita tidak bisa tetap
“ menikmati” penderitaan
hanya karena alasan sabar
dan tawakal. Kita juga tidak
bisa terus-menerus
membiarkan ketidakadilan
melilit kehidupan. Saatnya
kita berhijrah untuk
melakukan perubahan
sekaligus mengingatkan siapa
pun yang dipandang menjadi
sumber kesemrawutan.
Berhijrahlah dengan meminta
semua pihak tulus mengakui
kekhilafan, mencairkan
egoisme politik yang hanya
akan menyengsarakan
kehidupan, dan membangun
komitmen kebangsaan yang
lebih jujur serta demokratis
dengan melepaskan
kepentingan pribadi ataupun
golongan.
Alquran mengingatkan, Allah
membenci orang-orang yang
membiarkan diri bertahan di
tengah kesemrawutan sosial,
politik, dan ekonomi. “Kecuali
mereka, baik laki-laki,
perempuan, maunpun anak-
anak, yang tertindas karena
tidak mampu berdaya upaya
dan tidak mengetahui jalan
untuk berhijrah. ” (QS Annisa
[4]: 98)
Keutamaan Bulan Muharam
Dalam kalender Hijriah
terdapat empat bulan haram,
yakni Dzulqaidah, Dzulhijah,
Muharam, dan Rajab. Disebut
haram karena keempat bulan
itu sangat dihormati, dan
umat Islam dilarang
berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti
diharamkan atau yang sangat
dihormati, memang
merupakan bulan gencatan
senjata atau bulan
perdamaian. Hal ini
menunjukkan bahwa umat
Islam di manapun harus selalu
bersikap damai, tidak boleh
mengobarkan api peperangan
jika tidak diperangi terlebih
dahulu.
Seyogianya, umat Islam
menghormati dan memaknai
Muharam dengan spirit penuh
perdamaian dan kerukunan.
Sebab, Nabi Muhammad SAW
pada khutbah haji wada-yang
juga di bulan haram, mewanti-
wanti umatnya agar tidak
saling bermusuhan, bertindak
kekerasan, atau berperang
satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam
adalah pengendalian diri demi
terciptanya kedamaian dan
ketenteraman hidup, baik
secara fisik, sosial, maupun
spiritual. Karena itu, di bulan
Muharam Nabi Muhammad
SAW menganjurkan umatnya
untuk berpuasa sunah: Asyura
(puasa pada hari kesepuluh di
bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW
bersabda, “Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan
Muharam. Dan, shalat yang
paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat
malam. ” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak
melihat Rasulullah SAW
mengintensifkan puasanya
selain Ramadhan, kecuali
puasa Asyura. ” (HR Bukhari).
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan dari Abi
Qatadah, Nabi SAW bersabda,
“ Puasa Asyura itu dapat
menghapus dosa tahun
sebelumnya. ” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah,
umat Islam dilatih dan
dibiasakan untuk dapat
menahan diri agar tidak
mudah dijajah oleh hawa
nafsu, termasuk nafsu
dendam dan amarah, sehingga
perdamaian dan
ketenteraman hidup dapat
diwujudkan dalam pluralitas
berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan
Muharam agaknya juga harus
menjadi momentum islah bagi
semua pihak. Agar
perdamaian dan
ketentramaan terwujud,
Muharam juga harus dimaknai
sebagai bulan antimaksiat,
yakni dengan menjauhi
larangan-larangan Allah SWT,
seperti fitnah, pornoaksi,
pornografi, judi, korupsi,
teror, dan narkoba.
Muharram juga penting
dijadikan sebagai bulan
keselamatan bersama dengan
menghindarkan diri dari
kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang dapat
menyengsarakan manusia,
baik di darat, laut, maupun di
udara.
terdapat empat bulan haram,
yakni Dzulqaidah, Dzulhijah,
Muharam, dan Rajab. Disebut
haram karena keempat bulan
itu sangat dihormati, dan
umat Islam dilarang
berperang di dalamnya.
Muharam yang berarti
diharamkan atau yang sangat
dihormati, memang
merupakan bulan gencatan
senjata atau bulan
perdamaian. Hal ini
menunjukkan bahwa umat
Islam di manapun harus selalu
bersikap damai, tidak boleh
mengobarkan api peperangan
jika tidak diperangi terlebih
dahulu.
Seyogianya, umat Islam
menghormati dan memaknai
Muharam dengan spirit penuh
perdamaian dan kerukunan.
Sebab, Nabi Muhammad SAW
pada khutbah haji wada-yang
juga di bulan haram, mewanti-
wanti umatnya agar tidak
saling bermusuhan, bertindak
kekerasan, atau berperang
satu sama lain.
Esensi dari spirit Muharam
adalah pengendalian diri demi
terciptanya kedamaian dan
ketenteraman hidup, baik
secara fisik, sosial, maupun
spiritual. Karena itu, di bulan
Muharam Nabi Muhammad
SAW menganjurkan umatnya
untuk berpuasa sunah: Asyura
(puasa pada hari kesepuluh di
bulan ini).
Dari Abu Hurairah, Nabi SAW
bersabda, “Puasa yang paling
utama setelah Ramadhan
adalah puasa di bulan
Muharam. Dan, shalat yang
paling utama setelah shalat
wajib adalah shalat
malam. ” (HR Muslim).
Ibnu Abbas berkata, “Aku tak
melihat Rasulullah SAW
mengintensifkan puasanya
selain Ramadhan, kecuali
puasa Asyura. ” (HR Bukhari).
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan dari Abi
Qatadah, Nabi SAW bersabda,
“ Puasa Asyura itu dapat
menghapus dosa tahun
sebelumnya. ” (HR Muslim).
Melalui puasa sunah itulah,
umat Islam dilatih dan
dibiasakan untuk dapat
menahan diri agar tidak
mudah dijajah oleh hawa
nafsu, termasuk nafsu
dendam dan amarah, sehingga
perdamaian dan
ketenteraman hidup dapat
diwujudkan dalam pluralitas
berbangsa dan bernegara.
Puasa sunah di bulan
Muharam agaknya juga harus
menjadi momentum islah bagi
semua pihak. Agar
perdamaian dan
ketentramaan terwujud,
Muharam juga harus dimaknai
sebagai bulan antimaksiat,
yakni dengan menjauhi
larangan-larangan Allah SWT,
seperti fitnah, pornoaksi,
pornografi, judi, korupsi,
teror, dan narkoba.
Muharram juga penting
dijadikan sebagai bulan
keselamatan bersama dengan
menghindarkan diri dari
kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang dapat
menyengsarakan manusia,
baik di darat, laut, maupun di
udara.
Langganan:
Komentar (Atom)